Selamat datang di Hamfara-1953.Com

Khilafah vs Demokrasi

Jumat, 28 September 2012 0 komentar


Bila anda bertanya ke para intelektual, sistem pemerintahan apa yang terbaik saat ini? Niscaya mereka akan menjawab: system pemerintahan yang demokratis. Salah satu alasan mereka adalah adanya pembagian kekuasaan yang kita kenal dengan trias politika itu: legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dengan pembagian kekuasaan yang semacam itu, tentu akan terjadi chek and balance, yang akan menyulitkan penguasa untuk menyelewengkan kekuasaan. Itulah sebabnya, sistem pemerintahan demokrasi, selalu dilawankan dengan sistem pemerintahan absolut yang berujung ke pemerintahan yang despotis. Akan tetapi dalam satu dasawarsa ini, muncul system pemerintahan, yang, bukan saja sebagai tandingan, lebih dari itu,  meruntuhkan pamor sistem demokrasi yang dianggap terbaik itu. Itulah sistem khilafah. Nah, untuk selanjutnya, kita akan menguji lebih jauh tentang kedua sistem pemerintahan diatas dalam hal wewenang kekuasaan, masa jabatan, pema’zulan dan mekanisme kontrol.

Wewenang kekuasaan
Tentu semua orang sepakat dengan pemerintahan yang akuntabilitas, transparansi, efesiensi dan efektifitas. Seorang penguasa juga tidak ingin kebijakan-kebijakannya, program-programnya yang dianggap ideal untuk rakyat mendapat hambatan-hambatan, yang, akhirnya tersendat-sendat bahkan bisa jadi berjalan ditempat, yang justru akan merugikan rakyat itu sendiri. Intinya, siapapun penguasa, sudah pasti tidak ingin program-programnya, kebijakan-kebijakannya mendapat hambatan dari siapapun.
   Akan tetapi kalau kita mencermati sistem demokrasi dengan pembagian kekuasaan: legislative, eksekutif dan yudikatif, itu justru telah terjadi ketidak efektifan dan ketidak efisienan. Alasannya, dengan adanya pembagian kekuasaan semacam itu, berarti telah terjadi dualisme kepemimpinan.  Dengan alasan apapun, Bila anda seorang pemimpin yang tentu punya program ideal menurut anda, tetapi program anda itu tidak bisa segera dijalankan karena harus mendapat persetujuan dari kekuasaan lain. Dengan demikian, telah terjadi hambatan dari sisi waktu. Seterusnya, program anda dikoreksi ulang yang justru harus disesuaikan pula dengan kepentingan kekuasaan lain yang berbeda dari program ideal anda.  Terjadilah kompromi. Program yang abu-abu. Keputusan yang abu-abu. Program dan keputusan yang abu-abu inilah yang harus anda jalankan. Coba pula kita bandingkan dalam sistem khilafah dimana kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif berada dipundak khalifah; tentu program yang ideal dan kebijakan yang ideal akan berjalan efektif dan efisien, mengingat tidak akan ada yang membatalkan selama tidak keluar dari syariah Islam. Untuk lebih jelas, kita mencoba membuat analisis perbandingan dalam hal:

   Legislasi hukum.
   Dalam sistem demokrasi, yang membuat undang-undang adalah legislative, yaitu DPR dalam konteks Indonesia. Mekanismenya, RUU dibuat oleh pemerintah lalu diserahkan kepada DPR untuk dikoreksi, dan, setelah disahkan DPR, RUU yang disahkan DPR tersebut dikembalikan ke pemerintah untuk ditanda tangani. Bila dalam jangka 30 hari RUU tersebut belum juga ditanda tangani oleh Preiden, maka, RUU yang telah disahkan DPR tersebut menjadi UU secara otomatis. Nah, dari sisi waktu, jelas telah menguras waktu. Kedua, menguras dana rakyat karena satu RUU yang dilegislasi oleh DPR, bisa menghabiskan dana miliaran rupiah. Ketiga, tentu saja akan lahir UU yang abu-abu. Contoh teranyar adalah UU Pornografi dan Pornoaksi yang tak lagi seideal yang diusulkan pertama. Keempat, UU  tersebut bisa pula dibatalkan kembali oleh Mahkamah Konstitusi, karena dianggap melanggar UUD. Contoh kasus adalah UU Liberalisasi Pendidikan yang dibatalkan MK. Dengan begitu, sudah telah menguras waktu, menghabiskan dana, tetapi tidak menghasilkan apa-apa.
Mari pula kita bandingkan dengan legislasi hukum dalam sistem khilafah. Bila ada suatu persoalan yang belum ada aturannya dalam syariah, khalifah tinggal berijtihad dengan metodologi pengambilan hukum yang diyakini, atau mengambil salah satu pendapat mujtahid yang diyakini untuk dijadikan UU. Dengan cara demikian, tentu persoalan akan cepat teratasi, tidak membutuhkan biaya, dan tentu saja itulah UU yang ideal menurut khalifah. Dan bila UU tersebut melanggar syariah atau tidak sesuai dengan istinbath hukum yang diyakini khalifah, maka, Mahkamah Madzalim akan membatalkan UU tersebut.

Anggaran
Dalam sistem demokrasi, presiden menyusun anggaran dalam setahun dengan diusulkan ke DPR untuk mendapatkan persetujuan. Anggaran yang diusulkan tentu sesuai dengan program yang dibuat oleh pemerintah. Akan tetapi, anggaran yang diusulkan bisa jadi dipangkas sedemikian rupa oleh DPR yang menyebabkan program pemerintah berjalan terseok-seok. Contoh kasus, mungkin anda masih ingat tentang Barack Obama membatalkan kunjungannya ke Indonesia karena akan adanya pembatalan dana program Obama tentang perawatan kesehatan murah untuk masyarakat Amerika. Artinya, dengan harus adanya persetujuan dari DPR, akan rentan dipangkas dan bahkan dibatalkan. Belum lagi bila dalam tahun berjalan ada kejadian yang tak diduga yang harus membutuhkan dana, sedangkan pemerintah harus mengajukan permintaan dana kepada DPR; dengan demikian, tentu akan membutuhkan waktu pula. Bandingkan dengan Sistem khilafah yang bisa kapan saja untuk menentukan anggaran belanja Negara tanpa meminta persetujuan dengan Majlis Umat. Hanya saja, khalifah harus transparan kepada masyarakat tentang kemana saja anggaran tersebut dibelanjakan. Apa lagi pos-pos anggaran dalam sistem khilafah telah diberi panduan yang jelas oleh syariah. Dan bila terjadi penyimpangan, Mahkamah Madzalim akan segera bertindak tanpa harus ada pengaduan dari siapapun. Dengan khalifah yang punya wewenang penuh untuk menentukan anggaran yang diperlukannya itu, menyebabkan program-program khalifah akan berjalan maksimal.

Pengangkatan hakim
Dalam sistem demokrasi, yang mengangkat Hakim Agung adalah sebagai berikut: Calon Hakim Agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada DPR, lalu, disetujui pula oleh presiden. Hakim Agung diangkat untuk periode tertentu. Adapun sembilan hakim Mahkamah Konstitusi diusulkan oleh presiden tiga calon, DPR tiga dan Mahkamah Agung tiga pula. Lalu, Sembilan hakim tersebut memilih salah satu diantara mereka untuk menjadi ketua. Dalam system khilafah, “hakim” disebut “qodhi” yang diangkat oleh khalifah, juga diberhentikan oleh khalifah. Adapun qodhi Mahkamah Madzalim juga diangkat oleh khalifah dengan syarat khusus yaitu harus mujtahid, dan juga diberhentikan oleh khalifah pada masa khalifah tidak punya masalah. Walaupun khalifah punya hak untuk mencopot hakim-hakim tersebut tanpa ada syarat tertentu, namun, walau bagaimanapun, khalifah tidak akan mudah mencopot hakim tanpa alasan karena akan dipertanyakan oleh masyarakat yang punya hak kontrol; dan bila khalifah tak mampu memberi alasan yang tepat atas pencopotan-pencopotan hakim tersebut, sudah barang tentu legitimasi khalifah dimata masyarakat akan menjadi goyah. Khalifah bisa jadi tak dicintai oleh masyarakat walau tetap dipatuhi. Dan kontrol masyarakat ini sesungguhnya lebih dahsyat pengaruh fisikologisnya bagi khalifah.
Pengangkatan kepala daerah
Wewenang pengangkatan para pejabat, khususnya pengangkatan para wali (gubernur) dan amil (bupati), dalam sistem demokrasi langsung adalah rakyat sendiri. Ada beberapa kelemahan dalam masalah ini: pertama, akan terjadi penghamburan uang oleh para calon yang, bila menjadi gubernur dan bupati, akan berpotensi besar untuk korupsi, yang tentu saja kebijakan yang berpihak ke masyarakat tak berjalan efektif. Kedua, akan mudah terjadi “pembangkangan” terhadap kebijakan pusat, dan, bila itu terjadi, pusat tidak bisa berbuat apa-apa selain menggerutu saja. Akibatnya, program-program pemerintahan pusat tidak bisa berjalan efektif. Bandingkan dalam sistem khilafah dimana khalifah sendiri yang mengangkat dan memberhentikan wali dan amil. Dengan demikian, khalifah bisa mengangkat wali yang sejalan dengan keinginan khalifah, dan bila ada ketidak patuhan seorang wali, atau wali yang diangkat ternyata tak cakap dalam memerintah, khalifah dengan mudah mencopotnya. Dengan demikian, kebijakan-kebijakan khalifah bisa berjalan dengan efektif sampai ke bawah. Akan tetapi tentu pula khalifah tidak sembarangan mencopot seorang wali atau amil, karena khalifah akan berhadapan dengan kontrol masyarakat.  



Masa Jabatan
Dalam sistem demokrasi, masa jabatan presiden dibatasi dalam periode. Di Indonesia, masa jabatan presiden adalah lima tahun. Begitu juga masa jabatan gubernur dan bupati. Kelemahan dari pemilihan periodik ini adalah, pertama, akan selalu menghamburkan uang tak berguna sekali lima tahun, Kedua, penguasa yang baru satu periode menjabat tentu akan disibukkan dalam pencalonan diri untuk kedua kalinya yang menyebabkan pemerintahan ingkamben tidak akan berjalan seefektif biasa. ketiga, kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh presiden terdahulu, dengan mudah diganti oleh penguasa yang baru yang menyebabkan program jangka panjang yang berkesinambungan menjadi sulit terealisasi dengan baik dan efektif. Bandingkan dengan sistem khilafah yang masa jabatannya dibatasi semata bila ia tak mampu lagi, atau melakukan pelanggaran syariah yang menyebabkan khalifah dima’zulkan. Dengan demikian, program-program jangka panjang khalifah akan berjalan dengan efektif dan berkesinambungan, disamping, tentu saja tidak akan disibukkan oleh pencalonan periodik itu.

Pema’zulan
Dalam sistem demokrasi di Indonesia, pema’zulan dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dengan diusulkan oleh DPR. Bermula DPR melakukan hak interpelasi terhadap kasus tertentu yang dilakukan presiden, kemudian diusulkan ke Mahkamah Konsitusi yang akan memberikan kata putus. Adapun dalam sistem khilafah, yang berwenang mema’zulkan khalifah adalah Qodhi Mahkamah Madzalim Pusat. Timbul pertanyaan: Bukankah khalifah yang mengangkat qadhi tersebut, dan juga berhak mencopotnya kapanpun dan dengan hak khalifah semacam itu, tentu psikologis qodhi untuk memutuskan perkara sengketa dengan khalifah akan menjadi sulit mengingat pertaruhan jabatan sang qodhi? Jawaban saya, memang benar, bahwa khalifah yang mengangkat dan memberhentikan qadhi. Akan tetapi perlu dicatat bahwa khalifah tak berhak mencopot qadhi bila khalifah dalam bermasalah. Lebih dari itu, perlu diingat bahwa bila qodhi mendiamkan pelanggaran syara’ yang dilakukan khalifah, maka, qadhi membenarkan kezaliman, dan dengan demikian akan mendapat tekanan hebat dari masyarakat, simpul-simpul umat, pers, dan, partai-partai politik serta dari Anggota Majlis Umat. Jadi, efek tekanan fisikologis yang dirasakan qodhi dari para kontrol justru lebih dahsyat, tinimbang tekanan dari khalifah itu sendiri. Bila qadhi dicopot oleh khalifah tanpa alasan yang jelas, kecuali diduga kuat karena qodhi telah membatalkan kebijakan khalifah, tentu, sang qodhi akan menjadi pahlawan di mata masyarakat atas keberaniannya itu; dan dengan demikian, justru yang mendapat citra negatif dari masyarakat adalah khalifah itu sendiri. Bagaimana kalau khalifah mengangkat seorang qadhi yang ‘menjilat’ khalifah? Tetap saja khalifah tidak bisa berbuat semena-mena karena akan dikawal oleh aturan Islam yang telah baku. Dengan kata lain, perbuatan semena-mena khalifah masih dalam koridor tak melanggar aturan Islam yang qod’i. Yang berpotensi besar terjadi bila khalifah ‘buruk’ adalah mengangkat para sanak saudaranya sendiri yang kurang professional untuk mengisi posisi-posisi strategis, termasuk posisi qodhi. Kedua, menumpuk kekayaan dengan cara pemenangan tender dalam setiap pembangunan. Ketiga terjadinya korupsi dalam lingkaran istana. Pada kondisi semacam diatas, tetap akan dipandang baik walau tidak ideal, karena hukum Islam akan tetap berjalan di masyarakat. Sedangkan syariah Islam telah memberikan aturan jelas yang tersistemik yang menyebabkan baju khalifah tanggal dengan sendirinya bila aturan yang jelas tersebut diganti. Misalkan, aturan Islam bahwa SDA adalah milik umum, lalu, dibuat aturan baru bahwa SDA boleh dimiliki oleh individu. Pada kondisi ini, baju khalifah dengan sendirinya menjadi tanggal karena telah merubah hukum Allah. Andaikan khalifah tak mampu dijatuhkan karena telah punya kroni buruk  yang menghegemoni, rakyatpun tidak perlu mentaati khalifah bila kebijakannya melanggar aturan Allah yang qod’i. Namun perilaku buruk khalifah yang aku sebutkan diatas akan sulit terjadi bila sistem kontrol berjalan dengan baik.    

Mekanisme Kontrol
   Dalam sistem demokrasi, penguasa dikontrol oleh berbagai komponen. Diantaranya kontrol dari masyarakat, kontrol dari ormas-ormas ,kontrol dari media masa dan kontrol dari DPR. Empat komponen itulah yang berperanan penting untuk mengontrol penguasa. Tapi media masa mendapat tempat yang utama. Media bisa menjatuhkan citra seseorang tetapi bisa pula menaikkan citra seseorang. Makanya, biasanya yang paling ditakuti oleh penguasa adalah media itu sendiri yang mampu membuat citra positif dan negatif terhadap penguasa. Sedangkan didalam sistem khilafah, mekanisme kontrol juga berasal dari masyarakat, simpul-simpul umat, media, para elit partai dan Majlis Umat. Perbedaan kontrol dalam sistem khilafah dengan sistem demokrasi adalah bahwa khalifah dikontrol untuk tetap berada dalam jalur syariah Islam. Dari sini pula, kesadaran kaum muslim untuk selalu ingin diatur dengan syariah Islam adalah sesuatu yang sangat urgent agar selalu bisa mengontrol khalifah terus-menerus. Akan tetapi bila kaum muslim sudah tak peduli akan aturan agamanya, dan simpul-simpul  umat seperti ulama juga sibuk dengan dirinya sendiri, partai-partai politik juga stagnan, hal ini bertanda akan memudahkan khalifah untuk berlaku sewenang-wenang. Jadi, sistem kontrol yang berbasis taqwa inilah yang selalu dijaga terus menerus melalui sistem pendidikan formal dan non-formal, melalui para simpul umat dan ulama termasuk para elit yang selalu memproduksi para kader yang cinta akan agamanya. Dengan demikian, tindakan sewenang-wenang khalifah akan sangat sempit terjadi.  



    Materi untuk HS
Hendri Tanjung Manaf
yogjakarta, 27 September 2012
Share this article :
Silakan sebarkan artikel dalam blog ini, dengan syarat tetap menjaga amanah dalam penyalinan dan pengutipan tanpa memotong, menginterpretasi, dan mengubahnya; dan harus mencantumkan sumber dari apa yang diterjemahkan dan dipublikasikan
 
Support : Dakwah Kampus Chapter Hamfara
Hak Cipta hanya milik Allah SWT
Di buat oleh Creating Website dan Di modifikasi oleh Musthalihul Fatih
Di dukung oleh Blogger