Bila anda bertanya
ke para intelektual, sistem pemerintahan apa yang terbaik saat ini? Niscaya
mereka akan menjawab: system pemerintahan yang demokratis. Salah satu alasan
mereka adalah adanya pembagian kekuasaan yang kita kenal dengan trias politika
itu: legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dengan pembagian kekuasaan yang
semacam itu, tentu akan terjadi chek and
balance, yang akan menyulitkan penguasa untuk menyelewengkan kekuasaan. Itulah
sebabnya, sistem pemerintahan demokrasi, selalu dilawankan dengan sistem pemerintahan
absolut yang berujung ke pemerintahan yang despotis. Akan tetapi dalam satu
dasawarsa ini, muncul system pemerintahan, yang, bukan saja sebagai tandingan, lebih
dari itu, meruntuhkan pamor sistem
demokrasi yang dianggap terbaik itu. Itulah sistem khilafah. Nah, untuk
selanjutnya, kita akan menguji lebih jauh tentang kedua sistem pemerintahan
diatas dalam hal wewenang kekuasaan, masa jabatan, pema’zulan dan mekanisme
kontrol.
Wewenang kekuasaan
Tentu semua
orang sepakat dengan pemerintahan yang akuntabilitas, transparansi, efesiensi
dan efektifitas. Seorang penguasa juga tidak ingin kebijakan-kebijakannya,
program-programnya yang dianggap ideal untuk rakyat mendapat hambatan-hambatan,
yang, akhirnya tersendat-sendat bahkan bisa jadi berjalan ditempat, yang justru
akan merugikan rakyat itu sendiri. Intinya, siapapun penguasa, sudah pasti
tidak ingin program-programnya, kebijakan-kebijakannya mendapat hambatan dari
siapapun.
Akan tetapi kalau kita mencermati sistem
demokrasi dengan pembagian kekuasaan: legislative, eksekutif dan yudikatif, itu
justru telah terjadi ketidak efektifan dan ketidak efisienan. Alasannya, dengan
adanya pembagian kekuasaan semacam itu, berarti telah terjadi dualisme
kepemimpinan. Dengan alasan apapun, Bila
anda seorang pemimpin yang tentu punya program ideal menurut anda, tetapi
program anda itu tidak bisa segera dijalankan karena harus mendapat persetujuan
dari kekuasaan lain. Dengan demikian, telah terjadi hambatan dari sisi waktu.
Seterusnya, program anda dikoreksi ulang yang justru harus disesuaikan pula
dengan kepentingan kekuasaan lain yang berbeda dari program ideal anda. Terjadilah kompromi. Program yang abu-abu. Keputusan
yang abu-abu. Program dan keputusan yang abu-abu inilah yang harus anda
jalankan. Coba pula kita bandingkan dalam sistem khilafah dimana kekuasaan
legislatif, eksekutif dan yudikatif berada dipundak khalifah; tentu program
yang ideal dan kebijakan yang ideal akan berjalan efektif dan efisien,
mengingat tidak akan ada yang membatalkan selama tidak keluar dari syariah
Islam. Untuk lebih jelas, kita mencoba membuat analisis perbandingan dalam hal:
Legislasi hukum.
Dalam sistem demokrasi, yang membuat
undang-undang adalah legislative, yaitu DPR dalam konteks Indonesia.
Mekanismenya, RUU dibuat oleh pemerintah lalu diserahkan kepada DPR untuk
dikoreksi, dan, setelah disahkan DPR, RUU yang disahkan DPR tersebut
dikembalikan ke pemerintah untuk ditanda tangani. Bila dalam jangka 30 hari RUU
tersebut belum juga ditanda tangani oleh Preiden, maka, RUU yang telah disahkan
DPR tersebut menjadi UU secara otomatis. Nah, dari sisi waktu, jelas telah
menguras waktu. Kedua, menguras dana rakyat karena satu RUU yang dilegislasi
oleh DPR, bisa menghabiskan dana miliaran rupiah. Ketiga, tentu saja akan lahir
UU yang abu-abu. Contoh teranyar adalah UU Pornografi dan Pornoaksi yang tak
lagi seideal yang diusulkan pertama. Keempat, UU tersebut bisa pula dibatalkan kembali oleh
Mahkamah Konstitusi, karena dianggap melanggar UUD. Contoh kasus adalah UU
Liberalisasi Pendidikan yang dibatalkan MK. Dengan begitu, sudah telah menguras
waktu, menghabiskan dana, tetapi tidak menghasilkan apa-apa.
Mari pula kita bandingkan
dengan legislasi hukum dalam sistem khilafah. Bila ada suatu persoalan yang
belum ada aturannya dalam syariah, khalifah tinggal berijtihad dengan
metodologi pengambilan hukum yang diyakini, atau mengambil salah satu pendapat
mujtahid yang diyakini untuk dijadikan UU. Dengan cara demikian, tentu
persoalan akan cepat teratasi, tidak membutuhkan biaya, dan tentu saja itulah UU
yang ideal menurut khalifah. Dan bila UU tersebut melanggar syariah atau tidak
sesuai dengan istinbath hukum yang diyakini khalifah, maka, Mahkamah Madzalim
akan membatalkan UU tersebut.
Anggaran
Dalam sistem
demokrasi, presiden menyusun anggaran dalam setahun dengan diusulkan ke DPR
untuk mendapatkan persetujuan. Anggaran yang diusulkan tentu sesuai dengan
program yang dibuat oleh pemerintah. Akan tetapi, anggaran yang diusulkan bisa
jadi dipangkas sedemikian rupa oleh DPR yang menyebabkan program pemerintah
berjalan terseok-seok. Contoh kasus, mungkin anda masih ingat tentang Barack
Obama membatalkan kunjungannya ke Indonesia karena akan adanya pembatalan dana
program Obama tentang perawatan kesehatan murah untuk masyarakat Amerika.
Artinya, dengan harus adanya persetujuan dari DPR, akan rentan dipangkas dan
bahkan dibatalkan. Belum lagi bila dalam tahun berjalan ada kejadian yang tak
diduga yang harus membutuhkan dana, sedangkan pemerintah harus mengajukan
permintaan dana kepada DPR; dengan demikian, tentu akan membutuhkan waktu pula.
Bandingkan dengan Sistem khilafah yang bisa kapan saja untuk menentukan
anggaran belanja Negara tanpa meminta persetujuan dengan Majlis Umat. Hanya
saja, khalifah harus transparan kepada masyarakat tentang kemana saja anggaran
tersebut dibelanjakan. Apa lagi pos-pos anggaran dalam sistem khilafah telah
diberi panduan yang jelas oleh syariah. Dan bila terjadi penyimpangan, Mahkamah
Madzalim akan segera bertindak tanpa harus ada pengaduan dari siapapun. Dengan
khalifah yang punya wewenang penuh untuk menentukan anggaran yang diperlukannya
itu, menyebabkan program-program khalifah akan berjalan maksimal.
Pengangkatan
hakim
Dalam sistem
demokrasi, yang mengangkat Hakim Agung adalah sebagai berikut: Calon Hakim
Agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada DPR, lalu, disetujui pula oleh
presiden. Hakim Agung diangkat untuk periode tertentu. Adapun sembilan hakim
Mahkamah Konstitusi diusulkan oleh presiden tiga calon, DPR tiga dan Mahkamah
Agung tiga pula. Lalu, Sembilan hakim tersebut memilih salah satu diantara
mereka untuk menjadi ketua. Dalam system khilafah, “hakim” disebut “qodhi” yang
diangkat oleh khalifah, juga diberhentikan oleh khalifah. Adapun qodhi Mahkamah
Madzalim juga diangkat oleh khalifah dengan syarat khusus yaitu harus mujtahid,
dan juga diberhentikan oleh khalifah pada masa khalifah tidak punya masalah. Walaupun
khalifah punya hak untuk mencopot hakim-hakim tersebut tanpa ada syarat tertentu,
namun, walau bagaimanapun, khalifah tidak akan mudah mencopot hakim tanpa
alasan karena akan dipertanyakan oleh masyarakat yang punya hak kontrol; dan
bila khalifah tak mampu memberi alasan yang tepat atas pencopotan-pencopotan
hakim tersebut, sudah barang tentu legitimasi khalifah dimata masyarakat akan
menjadi goyah. Khalifah bisa jadi tak dicintai oleh masyarakat walau tetap
dipatuhi. Dan kontrol masyarakat ini sesungguhnya lebih dahsyat pengaruh
fisikologisnya bagi khalifah.
Pengangkatan
kepala daerah
Wewenang
pengangkatan para pejabat, khususnya pengangkatan para wali (gubernur) dan amil
(bupati), dalam sistem demokrasi langsung adalah rakyat sendiri. Ada beberapa
kelemahan dalam masalah ini: pertama, akan terjadi penghamburan uang oleh para
calon yang, bila menjadi gubernur dan bupati, akan berpotensi besar untuk
korupsi, yang tentu saja kebijakan yang berpihak ke masyarakat tak berjalan
efektif. Kedua, akan mudah terjadi “pembangkangan” terhadap kebijakan pusat,
dan, bila itu terjadi, pusat tidak bisa berbuat apa-apa selain menggerutu saja.
Akibatnya, program-program pemerintahan pusat tidak bisa berjalan efektif.
Bandingkan dalam sistem khilafah dimana khalifah sendiri yang mengangkat dan
memberhentikan wali dan amil. Dengan demikian, khalifah bisa mengangkat wali
yang sejalan dengan keinginan khalifah, dan bila ada ketidak patuhan seorang
wali, atau wali yang diangkat ternyata tak cakap dalam memerintah, khalifah
dengan mudah mencopotnya. Dengan demikian, kebijakan-kebijakan khalifah bisa
berjalan dengan efektif sampai ke bawah. Akan tetapi tentu pula khalifah tidak
sembarangan mencopot seorang wali atau amil, karena khalifah akan berhadapan
dengan kontrol masyarakat.
Masa Jabatan
Dalam sistem demokrasi,
masa jabatan presiden dibatasi dalam periode. Di Indonesia, masa jabatan
presiden adalah lima tahun. Begitu juga masa jabatan gubernur dan bupati.
Kelemahan dari pemilihan periodik ini adalah, pertama, akan selalu
menghamburkan uang tak berguna sekali lima tahun, Kedua, penguasa yang baru
satu periode menjabat tentu akan disibukkan dalam pencalonan diri untuk kedua
kalinya yang menyebabkan pemerintahan ingkamben tidak akan berjalan seefektif
biasa. ketiga, kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh presiden terdahulu, dengan
mudah diganti oleh penguasa yang baru yang menyebabkan program jangka panjang yang
berkesinambungan menjadi sulit terealisasi dengan baik dan efektif. Bandingkan
dengan sistem khilafah yang masa jabatannya dibatasi semata bila ia tak mampu
lagi, atau melakukan pelanggaran syariah yang menyebabkan khalifah dima’zulkan.
Dengan demikian, program-program jangka panjang khalifah akan berjalan dengan
efektif dan berkesinambungan, disamping, tentu saja tidak akan disibukkan oleh
pencalonan periodik itu.
Pema’zulan
Dalam sistem
demokrasi di Indonesia, pema’zulan dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dengan
diusulkan oleh DPR. Bermula DPR melakukan hak interpelasi terhadap kasus tertentu
yang dilakukan presiden, kemudian diusulkan ke Mahkamah Konsitusi yang akan memberikan
kata putus. Adapun dalam sistem khilafah, yang berwenang mema’zulkan khalifah
adalah Qodhi Mahkamah Madzalim Pusat. Timbul pertanyaan: Bukankah khalifah yang
mengangkat qadhi tersebut, dan juga berhak mencopotnya kapanpun dan dengan hak
khalifah semacam itu, tentu psikologis qodhi untuk memutuskan perkara sengketa
dengan khalifah akan menjadi sulit mengingat pertaruhan jabatan sang qodhi?
Jawaban saya, memang benar, bahwa khalifah yang mengangkat dan memberhentikan
qadhi. Akan tetapi perlu dicatat bahwa khalifah tak berhak mencopot qadhi bila
khalifah dalam bermasalah. Lebih dari itu, perlu diingat bahwa bila qodhi
mendiamkan pelanggaran syara’ yang dilakukan khalifah, maka, qadhi membenarkan
kezaliman, dan dengan demikian akan mendapat tekanan hebat dari masyarakat,
simpul-simpul umat, pers, dan, partai-partai politik serta dari Anggota Majlis
Umat. Jadi, efek tekanan fisikologis yang dirasakan qodhi dari para kontrol
justru lebih dahsyat, tinimbang tekanan dari khalifah itu sendiri. Bila qadhi
dicopot oleh khalifah tanpa alasan yang jelas, kecuali diduga kuat karena qodhi
telah membatalkan kebijakan khalifah, tentu, sang qodhi akan menjadi pahlawan
di mata masyarakat atas keberaniannya itu; dan dengan demikian, justru yang
mendapat citra negatif dari masyarakat adalah khalifah itu sendiri. Bagaimana
kalau khalifah mengangkat seorang qadhi yang ‘menjilat’ khalifah? Tetap saja
khalifah tidak bisa berbuat semena-mena karena akan dikawal oleh aturan Islam
yang telah baku. Dengan kata lain, perbuatan semena-mena khalifah masih dalam
koridor tak melanggar aturan Islam yang qod’i. Yang berpotensi besar terjadi
bila khalifah ‘buruk’ adalah mengangkat para sanak saudaranya sendiri yang
kurang professional untuk mengisi posisi-posisi strategis, termasuk posisi
qodhi. Kedua, menumpuk kekayaan dengan cara pemenangan tender dalam setiap
pembangunan. Ketiga terjadinya korupsi dalam lingkaran istana. Pada kondisi
semacam diatas, tetap akan dipandang baik walau tidak ideal, karena hukum Islam
akan tetap berjalan di masyarakat. Sedangkan syariah Islam telah memberikan
aturan jelas yang tersistemik yang menyebabkan baju khalifah tanggal dengan
sendirinya bila aturan yang jelas tersebut diganti. Misalkan, aturan Islam
bahwa SDA adalah milik umum, lalu, dibuat aturan baru bahwa SDA boleh dimiliki
oleh individu. Pada kondisi ini, baju khalifah dengan sendirinya menjadi
tanggal karena telah merubah hukum Allah. Andaikan khalifah tak mampu
dijatuhkan karena telah punya kroni buruk
yang menghegemoni, rakyatpun tidak perlu mentaati khalifah bila
kebijakannya melanggar aturan Allah yang qod’i. Namun perilaku buruk khalifah
yang aku sebutkan diatas akan sulit terjadi bila sistem kontrol berjalan dengan
baik.
Mekanisme Kontrol
Dalam sistem demokrasi, penguasa dikontrol
oleh berbagai komponen. Diantaranya kontrol dari masyarakat, kontrol dari
ormas-ormas ,kontrol dari media masa dan kontrol dari DPR. Empat komponen
itulah yang berperanan penting untuk mengontrol penguasa. Tapi media masa
mendapat tempat yang utama. Media bisa menjatuhkan citra seseorang tetapi bisa
pula menaikkan citra seseorang. Makanya, biasanya yang paling ditakuti oleh
penguasa adalah media itu sendiri yang mampu membuat citra positif dan negatif
terhadap penguasa. Sedangkan didalam sistem khilafah, mekanisme kontrol juga
berasal dari masyarakat, simpul-simpul umat, media, para elit partai dan Majlis
Umat. Perbedaan kontrol dalam sistem khilafah dengan sistem demokrasi adalah
bahwa khalifah dikontrol untuk tetap berada dalam jalur syariah Islam. Dari
sini pula, kesadaran kaum muslim untuk selalu ingin diatur dengan syariah Islam
adalah sesuatu yang sangat urgent
agar selalu bisa mengontrol khalifah terus-menerus. Akan tetapi bila kaum muslim sudah tak peduli akan
aturan agamanya, dan simpul-simpul umat
seperti ulama juga sibuk dengan dirinya sendiri, partai-partai politik juga
stagnan, hal ini bertanda akan memudahkan khalifah untuk berlaku
sewenang-wenang. Jadi, sistem kontrol yang berbasis taqwa inilah yang selalu
dijaga terus menerus melalui sistem pendidikan formal dan non-formal, melalui
para simpul umat dan ulama termasuk para elit yang selalu memproduksi para
kader yang cinta akan agamanya. Dengan demikian, tindakan sewenang-wenang khalifah
akan sangat sempit terjadi.
Materi untuk HS
Hendri Tanjung Manaf
yogjakarta, 27 September 2012