Oleh : Ust. Titok Priastomo
Substansialisme yang kita maksud di sini merupakan suatu jenis pandangan yang menyatakan bahwa, dalam rangka menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk, manusia tidak perlu terikat dengan makna-makna linguistik (kebahasaan) yang dibawa oleh lafadz-lafadz Al-Qur’an yang berbahasa Arab itu. Kita cukup mengambil substansi Al-Qur’an saja berupa nilai-nilai kebaikan yang terkandung di dalamnya. Pendirian ini bertolak dari pandangan bahwa nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan manusia itu bersifat objektif, eksis dengan sendirinya, abadi dan universal (lintas ruang-waktu). Dan oleh karenanya, sejatinya manusia dapat memahami nilai-nilai universal tersebut secara fitrah (alami) dengan akal yang ada dalam diri manusia. Nilai-nilai universal yang dimaksud itu antara lain seperti: keadilan, persamaan, kasih-sayang, kejujuran, kebebasan, dll. Masih menurut mereka, seluruh umat manusia, di mana pun dan sampai kapan pun, secara alami selalu menyepakati bahwa hal-hal tersebut merupakan nilai-nilai kebaikan. Sifat baik pada nilai-nilai tersebut bersifat objektif, dapat ditangkap dengan jelas oleh siapa saja.
Adapun terkait dengan makna-makna bahasa yang dibawa oleh lafadz-lafadz Al-Qur’an, mereka menyatakan bahwa makna-makna tersebut datang untuk mengemas dan mengartikulasikan nilai-nilai universal yang ada dengan cara yang sesuai dengan konteks ruang-waktu di mana Al-Qur’an tersebut turun. Ini karena menurut mereka, setiap masyarakat memiliki cara tersendiri dalam menjabarkan dan mengejawantahkan nilai-nilai universal itu dalam bentuk yang berbeda melalui norma, hukum atau budaya yang mereka praktekkan.
Jika nilai-nilai universal seperti keadilan dan persamaan itu bersifat universal, maka lain halnya dengan norma atau hukum yang menjadi bagian dari budaya masyarakat yang hidup dalam konteks ruang dan waktu tertentu. Hukum dan norma dalam budaya masyarakat tertentu itu hanyalah pilihan alternatif dalam mengemas dan mengimplementasikan nilai-nilai universal dalam realitas kehidupan mereka. Maka dari itu, norma dan hukum itu bersifat partikular (tidak universal), ia dibentuk oleh berbagai kondisi sosial-budaya yang melingkupinya.
Dengan pandangan yang demikian, mereka meyakini bahwa hukum-hukum yang secara literal tertulis di dalam Al-Qur’an bukanlah sesuatu yang dapat diaplikasikan secara universal. Ia tidak muncul tanpa dibidani oleh corak budaya spesifik yang melatar-belakanginya. Ia hanya cocok dalam dimensi ruang-waktu yang telah “melahirkannya”. Maka membawa dan menerapkan hukum yang diambil dari Al-Qur’an ke dalam kehidupan masyarakat modern adalah naif, dalam pandangan mereka.
Berdasarkan uraian di atas, kita dapat melihat bahwa :
Pertama, substasialisme sebenarnya bukan merupakan gaya penafsiran Al-Qur’an, namun ia lebih merupakan suatu persepsi ontologis terhadap Al-Qur’an. Dalam pandangan penganut faham ini, makna-makna lafadz al-Qur’an –meski seandainya dianggap datang dari langit- ia tetap hanya merupakan “produk budaya”, muntajun tsaqofiyyun kata Abu zaid. Al-Qur’an hanyalah artikulasi dari nilai-nilai universal yang dikemas dalam wujud yang relevan dengan kondisi sosial-budaya yang melingkupinya. Dan selama dia dilatar-belakangi oleh konteks sosial-budaya tertentu, maka ia bukanlah sesuatu yang dapat berlaku secara universal. Sementara petunjuk yang bisa diambil dari Al-Qur’an hanyalah nilai-nilai universal yang terkandung di dalam substansinya. Itulah faham yang mereka anut.
Dua, sebagai konsekuensi dari poin pertama, kaum substansialis –jika mereka mau konsisten- maka mereka tidak lagi punya kepentingan terhadap makna-makna lafadz dalam Al-Qur’an secara rinci. Mereka akan mencukupkan diri dengan persepsi holistik mereka terhadap Al-Qur’an, bahwa Kitab ini ingin menyampaikan nilai-nilai universal kepada manusia dan bahwa makna-makna literalnya merupakan produk budaya yang hanya relevan bagi mereka yang hidup di Arab pada masa turunya Al-Qur’an. Jika pemahaman tentang substansi Al-Qur’an secara umum ini sudah didapat, lantas apa perlunya mengkaji Al-Qur’an ayat per ayat, kalimat per kalimat? Maka dari itu wajar jika mereka tidak akan pernah membutuhkan berjilid-jilid kitab tafsir guna menerangkan makna Al-Qur’an ayat per ayat, bahkan satu jilid pun mereka sudah tidak memerlukannya lagi. Untuk apa memahami Al-Qur’an sedetail itu jika semuanya hanya akan dianggap sebagai “produk budaya yang hanya relevan pada konteks ruang-waktu tertentu”?
Ketiga, ketika mereka meyakini bahwa substansi Al-Qur’an adalah nilai-nilai kebaikan universal yang objektif dan dianut oleh seluruh umat manusia sepanjang sejarah di mana pun mereka berada, maka –jika kaum substansialis itu mau jujur- sebenarnya mereka ingin menyatakan bahwa manusia tidak membutuhkan wahyu. Sebab, kenapa wahyu itu harus turun jika secara alami seluruh umat manusia sudah bisa memahami eksistensi nilai-nilai kebaikan universal yang menjadi pesan terdalam dari wahyu tersebut? Maka kaum substansialis sebenarnya kaum yang tidak merasa butuh dengan wahyu.
Keempat, Persepsi ontologis kaum substansialis terhadap Al-Qur’an sepenuhnya berbeda dengan pemahaman kaum muslimin pada umumnya tantang hakekat Al-Qur’an. Sejak masa kerasulan hingga saat ini, umat Islam selalu mempercayai bahwa Allah SWT memberi petunjuk kepada umat manusia dengan lafadz-lafadz Al-Qur’an (Kalamullah) yang berbahasa Arab itu. Karena alasan itulah, umat Islam mencari petunjuk tentang Aqidah, hukum syara’ dan ibrah dari rincian makna-makna kebahasaan yang dibawa oleh lafadz-lafadz Al-Qur’an.
Kaum muslimin tidak pernah memahami bahwa mereka cukup mengambil persepsi global tentang Al-Qur’an, seperti pemahaman kaum substasialis bahwa inti Al-Qur’an adalah keadilan, persamaan, kesetaraandan sejenisnya, tanpa perlu mengambil detail pelajaran tentang aqidah dan hukum yang termaktub di dalam ayat-ayatnya. Kaum muslimin justru mencari petunjuk dengan berusaha memahami Al-Qur’an surat per surat, ayat per ayat, kalimat per kalimat bahkan kata per kata. Maka tidak heran jika lahir berbagai kitab tafsir yang menyelami Al-Qur’an secara rinci hingga belasan bahkan puluhan jilid tebalnya. Juga lahir berbagai ilmu Bahasa Arab sebagai alat yang digunakan untuk memahami lafadz dan susunan lafadz Al-Qur’an, seperti ilmu tentang kosa-kata langka (ghara’ib), sintaksis (nahwu), morfologi (sharf), dan balaghah. Ilmu ushul fiqh pun memuat penjelasan tentang macam-macam dilalatul alfadz (penunjukkan lafadz) yang terkandung di dalam nash-nash syara’ termasuk Al-Qur’an. Semua ini menunjukkan persepsi umat Islam tentang hakekat ayat-ayat Al-Qur’an bahwa semua itu merupakan lafadz-lafadz berbahasa Arab yang datang dari Allah Ta’ala yang memberi petunjuk kepada manusia tentang Aqidah dan Hukum Syariat dalam rincian makna yang terkandung di dalam KalamNya tersebut. (titok, 21/12/12)
Catatan ini dibuat setelah saya terlibat pembicaraan dengan seorang Dosen UIN Suka (19/12/12), yang mengkategorikan pemahaman saya terhadap Al-Qur’an sebagai “literalis” atau “skripturalis”, dan menganggap pandangan saya sebagai jenis pandangan yang “minoritas”.