Hizbut Tahrir ("Partai Pembebasan")
adalah sebuah fenomena politik Indonesia yang unik. Dari seratus lebih
parpol yang mewarnai pentas nasional sejak reformasi 1998, HT adalah
"partai" yang barangkali tertua. Didirikan 1953 di Jordania, HT dari
awal menyebut dirinya partai politik, bukan sekedar gerakan dakwah. Sifatnya
yang kosmopolit dan internasional, membuat HT berada di mana-mana. Di
Indonesia HT eksis dengan legalitas sebagai organisasi massa dengan nama HTI
(Hizbut Tahrir Indonesia). Untuk memahaminya, berikut sekilas "yang
unik" dari HT.
1. Da'wah Group - but also Political Party
HT
adalah kelompok dakwah, yang diperintahkan menasehati siapa saja (QS 3:104),
sedang yang paling berhak dinasehati itu adalah penguasa, yang mengurusi
segala masalah ummat (tanpa dibatasi). Maka dakwah seperti ini bisa
disebut aktivitas politik, dan kelompoknya bisa disebut partai politik.
2. Politics - but smart & make the people smart
Namun
aktivitas politik HT adalah "high-politics" atau "smart and
smarting politics". HT mendidik masyarakat agar sadar hak dan
kewajiban islaminya, sehingga mereka bisa mengawasi penguasanya, agar
memerintah sesuai dengan Islam. Bagi HT sudah cukup bahwa masyarakat
bersama penguasanya berjalan islami, tanpa harus berkuasa sendiri.
3. Political party - but
extra parlementary
Meski
HT adalah partai politik, namun HT memilih berjalan di luar parlemen. Karena
itu HT juga tidak berminat turut dalam Pemilu, sekalipun memiliki massa
yang banyak. Ini karena HT memandang, parlemen dalam sistem demokrasi tidak
sepenuhnya kompatibel dengan Islam, dan tidak akan mampu memberi jalan bagi
tegaknya Islam di manapun. Dan fakta sejarah di berbagai negara menunjukkan
bahwa perubahan yang revolusioner tidak pernah, tidak bisa dan tidak perlu
melalui jalan parlemen. Meski demikian HT membolehkan seorang muslim yang
memperjuangkan Islam via parlemen untuk muhasabatul hukkam (menasehati
penguasa) atau untuk menguak hukum-hukum atau perilaku penguasa yang
bertentangan dengan Islam.
4. Revolutionary - but start in the mind
Meski
HT mengidamkan perubahan revolusioner, namun itu bukan revolusi (ala) sosialis.
Revolusi yang dicitakan adalah revolusi pemikiran. Pemikiran-pemikiran
busuk di masyarakatlah yang menjadi sebab busuknya sistem dan rusaknya
para penguasa. Karena itu pemikiran busuk ini harus digantikan dengan
pemikiran Islam yang cemerlang, yang pada saatnya akan mencerahkan
masyarakat, sehingga mereka mampu memilih penguasa yang tercerahkan.
Pemikiranlah yang akan menggerakkan perubahan – bahkan revolusi - di
segala bidang (QS 13:11).
5. Social Change - but not forget Individu
Meski HT
memperjuangkan perubahan masyarakat, namun ini tidak didrop dari atas,
ataupun didongkrak dari bawah (individu-individu). Masyarakat tidak sekedar
himpunan individu, namun individu-individu yang berinteraksi dan diikat
pemikiran, perasaan dan peraturan yang sama. Karena itu HT mendidik secara
individual para kadernya, seraya bersama-sama melakukan interaksi ke masyarakat
untuk merubah opini umumnya. Bila kader-kader itu kebetulan memiliki
power, sementara opini umum juga sudah kondusif untuk Islam, maka perubahan
sistem akan berjalan mulus. Selanjutnya sistem baru yang islami ini akan
memacu islamisasi lagi, tanpa harus membuat semua orang menjadi kader.
6. Fundamental - but not dogmatic
Sebagai
gerakan yang merindukan tegaknya syariat Islam yang diyakini satu-satunya
alternatif mengatasi krisis multi dimensi, HT dapat dibilang ada di kubu
"fundamentalis", atau "revivialis". Namun demikian, HT bukan
gerakan dogmatis. Bahkan untuk masalah aqidah saja (untuk pertanyaan: mengapa
mesti percaya pada Islam?), HT menggunakan metode rasional semata. Karena
itu oleh sebagian gerakan lain -juga di kubu fundamentalis – HT pernah
disalahpersepsikan sebagai neo-mu'tazilah. Dalam fiqh, HT menelusuri dalil
secara mendalam, tanpa terbelenggu keharusan mengikuti madzhab tertentu.
7. Syariat Islam - but not just "Jakarta Charter"
Meski
menyerukan penerapan syariat Islam, namun berbeda dengan lainnya, HT tidak
terjebak pada sekedar usaha memasukkan Piagam Jakarta ke amandemen UUD 45,
atau pada jargon piagam Madinah. HT justru mengusulkan suatu rancangan konstitusi
baru yang seluruh pasalnya diambil dari Islam, dan memandang piagam
Jakarta maupun piagam Madinah baru sebagian kecil dari syariat itu sendiri.
HT memandang syariat Islam sebagai solusi integral (politik-ekonomi-sosial-budaya-hankam).
Karena itu syariat tidaklah sekedar hukum (=sanksi) Islam, seperti hukum
potong tangan bagi pencuri atau rajam bagi pezina. Dalam masalah
ekonomipun, ekonomi syariat tidak sekedar ekonomi anti riba plus zakat,
namun lebih jauh mulai dari paradigma, teori kepemilikan, teori harga,
peran negara dsb.
8. Islamic State - but not theocracy
HT
memandang, suatu negara yang menjalankan syariat Islam, dan keamanannya dijamin
oleh kaum muslim, adalah negara Islam. Namun negara itu bukanlah theokrasi
yang dikuasai para padri yang memerintah atas nama Tuhan. Negara Islam
adalah negara dunia, yang dihuni orang sholeh maupun orang jahat, muslim
maupun bukan. Dalam negara Islam, meski kedaulatan ada pada syara', namun
kekuasaan ada pada rakyat, sedang manfaatnya ditujukan ke seluruh alam.
9. Unity of Umma - but not unity of party
Negara
hanya tegak bila kaum muslim bersatu. Namun menurut HT, persatuan ummat
tidak berarti harus menyatukan partai. Keberadaan banyak partai itu sunnatullah,
karena memang ada banyak dalil yang bisa ditafsirkan beraneka. Ketika
ada khalifah, dialah yang memutuskan pendapat mana yang akan dilegislasi
dan mengikat semua orang, termasuk yang berbeda pendapat. Namun ini
hanya untuk persoalan kemasyarakatan. Dan pendapat yang berbedapun boleh
dipelajari. Inilah mengapa mazhab-mazhab fiqh tetap hidup, sekalipun khalifah
saat itu melegislasi pendapat satu mazhab saja.
10. Khilafah - but not just group leader
Dan
tentang figur khalifah, HT memandang khalifah bukan sekedar pemimpin jama'ah
semacam yang ada pada Ahmadiyah atau Laskar Hizbullah. Namun khalifah
adalah kepala negara dan pemerintahan. Khalifah juga bukan jabatan yang
bisa diwariskan, karena ia semacam kontrak sosial. Adapun yang terjadi di
masa lalu, harus dikaji secara jernih, dan pula sejarah bukanlah dalil hukum
yang mengikat.
11. Orthodox - but with ijtihad
HT
sangat teguh memegang dalil syara'. Namun demikian HT juga sangat peduli
pada ijtihad asal memenuhi syarat. Termasuk arena ijtihad yang subur adalah
konsep pembentukan dan kebangkitan masyarakat. Ini karena ulama terdahulu
tidak mewariskan sedikitpun kajian di sini, sebab saat itu tak ada yang membayangkan
bahwa khilafah Islam yang besar dan berperadaban tinggi bisa runtuh.
12. Syura' - but not democracy
HT
membedakan syura' dengan demokrasi. Proses pengambilan keputusan dibagi tiga:
(1) Untuk masalah hukum, syura dilakukan untuk memilih pendapat yang terkuat
argumentasinya - bukan terbanyak pendukungnya. (2) Untuk masalah teknis,
serahkan pada ahlinya, bukan pendapat mayoritas. (3) Yang diserahkan
pendapat mayoritas adalah hal-hal optional yang sama-sama mubah, misalnya
memilih pejabat yang paling akseptabel, setelah semua sama-sama memenuhi
syarat.
13. Radical - but not exclusive
Sebagai
gerakan yang memperjuangkan perubahan yang mendasar, HT dapat disebut
gerakan radikal (radix = akar, mendasar). Namun HT jauh dari kesan eksklusif.
HT berbaur di masyarakat dan tidak berpretensi membentuk perkampungan
sendiri. Maka aktivis HT hanya bisa dikenali dari pemikirannya, tidak
dari lahiriahnya. Kalaupun wanita aktivis HT berjilbab, itu bukan karena
HT-nya, namun memang itu kewajiban Islam. Bahkan HT tidak punya bendera.
Bendera hitam bertulisan kalimat tahlil putih yang sering dibawanya
adalah bendera Islam. Dan ini boleh dibawa setiap muslim!
14. Substantive - but take also the symbols
HT
memandang segalanya dari sudut hukum syara', dan tidak dari dikotomi substansi
- simbol. Maka tak perlu menonjolkan satu dan mengabaikan lainnya.
Pengentasan kemiskinan atau pemberantasan KKN sama wajibnya dengan menutup
aurat atau sholat lima waktu. Keduanya harus didukung baik di tingkat
individu dan - bila perlu - di tingkat negara.
15. Jihad - but peaceful
HT
mengakui bahwa jihad memiliki makna bahasa "usaha sungguh-sungguh".
Namun syara' telah memberi definisi spesifik, bahwa jihad adalah segenap
usaha mengatasi kekuasaan tirani asing yang merintangi dakwah secara fisik.
Jadi jihad tak hanya untuk mempertahankan diri, apalagi sekedar melawan hawa
nafsu. Sedang usaha mengoreksi penguasa / melenyapkan kemungkaran di negeri
Islam, tidaklah disebut jihad, melainkan dakwah atau nahi mungkar - dan ini
tidak dengan kekerasan, kecuali penguasa daulah Islam mengkhianati baiat
rakyatnya, yang mewajibkannya menerapkan Islam. Sedang usaha mendirikan daulah
Islam itu sendiri, sama sekali harus tanpa kekerasan. Rasulullahpun saat
di Mekkah, berjuang tanpa kekerasan, meski banyak pengikutnya disiksa. Revolusi
pemikiran tak bisa tidak selain dengan pemikiran juga, melalui dialog,
diskusi publik, media massa dsb.
16. Uncompromising - but no violence
Dalam
aktivitasnya, HT tidak mengenal kompromi dalam masalah syara', sekalipun
bagi gerakan lain itu adalah manuver politik. Namun sikap anti kompromi
ini tidak berarti HT pro kekerasan. Bahkan di Jakarta, HT mendapat penghargaan
Polda, sebagai penggelar demo paling tertib di Jakarta. Hal ini karena
HT memandang jalan raya sebagai milik publik dan haram menghalangi orang
untuk lewat. Selain itu HT melihat polisi hanya sebagai alat negara. Dan
preman, bahkan pelacur sekalipun bukanlah musuh, karena hakekatnya mereka
juga korban dari sistem yang tidak islami.
17. Liberating - but not liberal
Meski
memperjuangkan syariat Islam, HT memilih nama universal "Hizbut Tahrir"
(Partai Pembebasan) - tanpa label "Islam", karena ini mubah. Namun
pembebasan itu bukanlah liberalisme (bebas dari batasan apapun kecuali yang
bermanfaat baginya), melainkan pembebasan dari penghambaan pada sesama manusia
menjadi pada Allah saja.
18. Tolerance - but not pluralism
Dari
pemahaman bahwa ada dalil-dalil syara' yang bisa ditafsirkan berbeda, HT
toleran pada mereka yang masih punya "syubhatud dalil" (dalil tipis)
yang masih islami. Atas pemikiran dan aktivitas gerakan lain, HT
berpendapat bahwa gerakan lain itu islami, meski pendapatnya
berseberangan dengan HT.
Namun
tidak berarti HT setuju dengan doktrin yang mengharuskan kekuasaan di-share
ke kelompok dengan pemikiran yang berbeda-beda. Karena dalam masyarakat
tetap harus ada suatu pemikiran tunggal yang mempersatukan.
Untuk hukum yang menyangkut masyarakat luas (bukan soal Qunut atau rokaat tarawih), mau tidak mau HT harus dan akan mengambil sikap untuk memperjuangkan pendapat yang terkuat hujjahnya saja. Terhadap pendukung pendapat islami lainnya, dikembangkan iklim dialog dan toleransi.
19. International - but work local
Sedari
awal HT sadar bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam. Karena itu,
seluruh manusia pantas dijadikan sasaran dakwah. Maka HT ada di seluruh dunia,
juga di negara-negara Barat.
Dakwah memang harus dimulai dari entitas yang bisa diakses. Karena itu prioritas dakwah tetap pada kaum muslim dulu. Dan karena bangsa Arab adalah komponen muslim terbesar dengan ikatan emosional tertinggi, maka pada mereka dakwah lebih intensif.
20. Local - but not nationalism
Namun
meski bekerja secara lokal, tidak berarti HT setuju dengan nasionalisme
atau patriotisme. Bahwa HT akan berdiri di garis depan bila negerinya
diserang orang-orang kafir, itu pasti. Namun ini bukan karena merasa
pengabdian tertinggi adalah pada bangsa dan negara, melainkan karena HT
yakin membela negeri Islam dari serangan orang-orang kafir adalah kewajiban
syara'.
HT berpikir lebih kosmopolit dan globalisasi, karena syara' setiap bicara tentang ummat Islam, tidaklah spesifik hanya untuk muslim di negeri tertentu saja. Demikian juga, cita-cita mendirikan khilafah Islam sebagai cikal bakal suatu "superstate" tidak tertuju hanya di wilayah teritorial tertentu saja, melainkan di mana saja yang memang paling kondusif untuk itu, di sanalah cita-cita itu akan mulai direalisasi. Tidak oleh HT, namun oleh ummat yang telah berubah cara berpikirnya.