Oleh : Dwi Condro Triono, Pakar Ekonomi Islam
Menurut pandangan Islam, asuransi itu hukumnya haram. Sebab, tidak memenuhi ketentuan akad dhaman (pertanggungan) dalam fiqih Islam. Sebab pada asuransi, hanya ada dua pihak, bukan tiga pihak sebagaimana dalam dhaman. Dua pihak tersebut: Pertama, penanggung (dhamin), yaitu peserta asuransi; kedua, pihak yang mendapat tanggungan (madhmun lahu), yaitu juga para peserta asuransi.
Jadi dalam asuransi syariah tak terdapat pihak ketiga, yaitu pihak tertanggung (madhmun anhu). Perusahaan asuransi juga tidak bisa disebut pihak penanggung (dhamin), karena tidak memiliki kemampuan finansial untuk menjadi penanggung. Dana yang akan digunakan untuk menanggung justru berasal dari pihak yang akan mendapat tanggungan (madhmun lahu).
Penerapan UU SJSN dan UU BPJS merupakan konsekuensi dari diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme di Indonesia. Sistem ini memberi kebebasan seluas-luasnya kepada pihak swasta untuk memperebutkan “kue” ekonomi yang ada di suatu negara. Dalam sistem ini sudah tidak mengenal lagi batas-batas norma dan etika lagi. Prinsipnya, di mana ada peluang, maka itu akan mereka “makan”.
Di sisi lain, akibat kemiskinan yang mendera, telah menyebabkan sebagian besar rakyat Indonesia tidak memiliki kemampuan untuk mencukupi kebutuhan dasarnya, termasuk kebutuhan kesehatannya. Hal itu dilihat oleh kaum kapitalis sebagai peluang bisnis yang besar, khususnya yang bergerak dalam bisnis asuransi.
Basis dari bisnis asuransi hanyalah memanfaatkan kekhawatiran dan ketidakpastian yang dihadapi seseorang, sehingga mau membayar sejumlah premi kepada perusahaan asuransi untuk menjamin masa depannya. Bisnis asuransi keuntungannya akan semakin besar apabila pesertanya semakin banyak. Maka, kita tidak bisa membanyangkan, berapa keuntungan yang bisa dikeruk, apabila pesertanya itu diwajibkan pada seluruh rakyat Indonesia di bawah “tekanan” UU tersebut.[] fm