Oleh: Ustadz Sidhiq Al-Jawi
Tanya :
Ustadz, bolehkah memakai sepatu dari kulit babi? (Ummu Lora, Rancaekek)
Menurut kami haram hukumnya membuat, menjualbelikan, dan memakai sepatu dari kulit babi, karena kulit babi (jild al khinziir) adalah najis dari segi dzatnya (najis ‘ain) dan tetap najis meskipun telah disamak.
Kenajisan kulit babi tersebut disepakati oleh seluruh fuqoha empat mazhab tanpa perbedaan pendapat (khilafiyah), sehingga kulit babi tak menjadi suci dengan disamak dan tak boleh dimanfaatkan. Memang ulama Malikiyah berpendapat babi tidak najis (suci), berbeda dengan pendapat jumhur ulama. Namun maksudnya ialah ketika babi itu hidup. Ketika babi mati, mereka memandang bangkai babi menjadi najis dan kulitnya pun tak menjadi suci dengan disamak. (Sa’ad Samir Muhammad Hamad, Al Khaba`its wa Hukmuha fi Al Fiqh Al Islami, hlm 32; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, Juz 20 hlm. 34, Muhammad Abdurrahman Ad Dimasyqi, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al A`immah, hlm. 7).
Dalil najisnya kulit babi secara najis ‘ain adalah dalil najisnya babi itu sendiri, yaitu firman Allah SWT (artinya),”Katakanlah.’Tiada aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu adalah bangkai, atau darah mengalir, atau daging babi –karena sesungguhnya semua itu adalah rijsun (kotor)– atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS Al An’aam [6] : 145). Menurut Syaikh Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, kata “rijsun” dalam ayat ini artinya adalah “najisun” (najis), sehingga ayat ini adalah dalil najisnya daging babi (lahmul khinziir), juga dalil najisnya seluruh bagian tubuh babi lainnya, seperti rambutnya, tulangnya, dan kulitnya. (Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Sholah, Juz 1 hlm. 45).
Berdasarkan kenajisan kulit babi inilah, dapat diistinbath beberapa hukum syara’ sebagai berikut; Pertama, haram hukumnya membuat sepatu dari kulit babi (jild al khinziir), berdasarkan kaidah fiqih : Ash shinaa’ah ta`khudzhu hukma maa tuntijuhu. (hukum memproduksi suatu barang mengikuti hukum barang yang dihasilkan). (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 230; Abdurrahman Al Maliki, As Siyasah Al Iqtishadiyyah Al Mustla, hlm. 73; Muqaddimah Ad Dustur, Juz 2 hlm. 137). Berdasarkan kaidah ini, proses pembuatan sepatu kulit babi dari bahan kulit babi hukumnya haram, karena hasilnya adalah barang yang tetap najis yang haram dimanfaatkan. Ini berarti yang haram tak hanya memproduksi sepatu, tapi segala barang yang dihasilkan dari bahan kulit babi, seperti tas, ikat pinggang, dompet, jaket, dan sarung tangan.
Kedua, haram hukumnya menjualbelikan sepatu dari kulit babi, berdasarkan kaidah fiqih : Kullu maa hurrima ‘ala al ‘ibaad fabai’uhu haraam. (Setiap-tiap benda yang diharamkan atas para hamba-Nya, maka menjualbelikannya haram). (Taqiyuddin An Nabhani, Asy Syakhshiyyah Al Islamiyyah, Juz 2 hlm. 288). Atas dasar kaidah ini, haram hukumnya menjual belikan sepatu dari kulit babi, karena sepatu kulit babi najis dan haram diproduksi.
Ketiga, haram hukumnya memakai sepatu dari kulit babi, karena sepatu kulit babi adalah najis yang haram untuk dimanfaatkan. Umat Islam haram hukumnya memanfaatkan segala sesuatu benda atau barang yang najis berdasarkan dalil-dalil hadis sahih. Bagi yang sudah terlanjur memegang atau memakai sepatu kulit babi, cara bersucinya sama dengan bersuci dari jilatan anjing, yaitu dibasuh tujuh kali salah satunya dengan tanah. (Lihat Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Sholah, Bab “Hukm Al Intifa’ bi An Najis”, Juz 1 hlm. 116; Muhammad Abdurrahman Ad Dimasyqi, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al A`immah, hlm. 7). Wallahu a’lam.