Siklus
Hidup Pemenang
By:
Amuba Mabda’i
Jadilah
Seorang Pemenang!
Kawan, apa yang terlintas dalam benak kalian
jika saya sebut kata ‘Pemenang’? setidaknya kata ‘Pemenang’ sudah cukup
familiar terdengar di telinga kita. Tapi kita kadang tidak begitu paham arti
‘sebenarnya’ kata tersebut. setidaknya pernahkah kalian mencoba membuat
definisi sendiri mengenai kata tersebut? atau pernahkah kalian bertanya
tentang, Siapakah yang bisa dimaksud sebagai pemenang? Atau pernahkah kalian
bermimpi menjadi seorang pemenang?
Tidak banyak orang yang dapat mendefinisikan
dengan gamblang arti dari kata Pemenang. Tidak hingga saat ini (menurut saya). Dalam
bahasa Indonesia memiliki makna seorang (pihak) yang memenangkan sesuatu. Bisa
itu pertandingan, perlombaan ataupun kompetisi yang lainnya. Dalam bahasa arab,
kata pemenang merupakan isim fa’il dari kata dasar menang.
Namun definisi tersebut agaknya terlalu luas
dan bukan definisi yang coba saya maksudkan dalam penulisan ini. Mari kita
fikirkan bersama. Pemenang yang saya maksudkan bukan sekedar memenangi
perlombaan atau kompetisi lain yang lingkupnya sempit. Memang setiap yang
terbaik dari suatu kompetisi dan perlombaan biasa disebut sebagai pemenang.
Atau juga biasa disebut dengan Juara. Namun apakah ‘kehebatan’ kata tersebut
hanya sebatas pada menjadi seorang Juara saja? Rasanya tidak.
Jikalau boleh berkata, sejujurnya hidup ini
sejatinya adalah kompetisi. Namun bukan sembarang kompetisi. Kompetisi yang
membuktikan bahwa setiap diri kita adalah satu dari sekian banyak (juta) sel
sperma yang mampu menaklukkan indung telur. Bukankah itu kompetisi yang sangat
besar? Yang diikuti oleh berjuta peserta, dan kita adalah “The Last Man
Standing”. Pernahkah kita merasa bangga dengan hal tersebut? Atau malah kalian
sama sekali belum pernah tahu kompetisi ini? Malang sekali.
Kemudian sebenarnya apa hubungan pemenang
dengan kalian?
Tahukah
kalian bahwa ketika seorang terlahir hingga aqil baligh nya sebagai
seorang muslim maka sesungguhnya Allah Ta’ala telah berfirman dalam QS Ali
Imron ayat 110 : “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyeru kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah
Ta’ala.”
Pemenang
adalah yang terbaik dari semuanya. Dengan kata lain seorang muslim adalah
seorang pemenang, karena seorang muslim adalah yang terbaik diantara manusia. Jika
pun ras manusia dilahirkan bukan di bumi maka dimanapun ras manusia berada,
seorang muslim lah yang menjadi terbaik. Pemenang adalah seorang yang melakukan
lebih dahulu sebelum orang biasa sempat memikirkan hal tersebebut. Pemenang
adalah seorang yang aktivitasnya lebih dari orang biasa. Jika normalnya orang
biasa hanya dapat belajar sehari selama dua jam maka seorang pemenang lebih
dari itu. Pemenang adalah dia yang siap. Kesiapan sudah ada sejak aktivitas
mereka sebelum melakukan kompetisi.
Yah
walaupun setiap muslim adalah pemenang namun ada syarat berikutnya yang
menjadikan dia layak menjadi pemenang. Yakni menyeru kepada yang ma’ruf. Apa
itu ma’ruf? Secara etimologis (bahasa) ma’ruf artinya diterima. Menurut para
ulama yang disebut ma’ruf adalah apa yang dianggap baik dan bernilai ibadah
sesuai syara’. Jadi tidak lengkap jika dia seorang muslim namun tidak melakukan
aktivitas yang baik dan bernilai ibadah yang sesuai dengan syara’. Dan menjadi
hal yang sudah seharusnya pula untuk menyeru kepada hal tersebut (baca; ma’ruf)
Syarat
selanjutnya yang tidak kalah penting dan tidak dapat dipisahkan dari menyeru
kepada ma’ruf (amr ma’ruf) yakni adalah mencegah dari yang munkar (nahi
munkar). Yang disebut munkar secara etimologis artinya adalah tidak dapat
diterima, atau kebalikan dari definisi bahasa ma’ruf itu sendiri. Menurut para
ulama sendiri yang dimaksud munkar adalah segala sesuatu yang dilarang agama.
Jadi mencegah dari perbuatan munkar adalah menjadi seorang yang meninggalkan
segala sesuatu yang dilarang agama dan juga mengupayakan agar hal yang dilarang
agama terjadi.
“Dari
Abu Sa’id Al Khudri radiallahuanhu berkata : Saya mendengar Rasulullah
Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Siapa yang melihat kemunkaran maka
rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, jika
tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah
selemah-lemahnya iman”. (HR Muslim)
Menentang pelaku kebatilan dan menolak
kemunkaran adalah kewajiban yang dituntut dalam ajaran Islam atas setiap muslim
sesuai kemampuan dan kekuatannya. Mendiamkan kemaksiatan berarti juga
menyetujui kemaksiatan terjadi. Dan ridho terhadap kemaksiatan termasuk
diantara dosa-dosa besar. Amal merupakan buah dari iman, maka menyingkirkan
kemunkaran juga merupakan buahnya keimanan. Mengingkari dengan hati diwajibkan
kepada setiap muslim, sedangkan pengingkaran dengan tangan dan lisan
berdasarkan kemampuannya. Beberapa ulama meng-qiyaskan bahwa sikap seorang
muslim ketika kemaksiatan terjadi haruslah merasa gelisah dan tidak nyaman.
Kemudian tugas dari para ulamalah yang melakukan seruan dengan lisan. Kemudian
tugas sebuah Negara yang melakukan aktivitas dengan tangan (perbuatan)
Setelah
melakukan kedua hal tersebut (baca: amr ma’ruf dan nahi munkar)
maka tingkatan seorang muslim menjadi lebih tinggi derajatnya, dia telah dapat
disebut Muttaqin (orang yang bertakwa). Inilah yang dikatakan oleh Allah
Ta’ala sebagai orang yang ‘berbeda’ dalam arti kata lebih spesial, karena Allah
Ta’ala berfirman dalam QS al-Hujuraat ayat 13;
“Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal mengenal. sesungguhnya orang yang paling baik diantara kamu disisi
Allah Ta’ala adalah orang yang paling bertakwa diantara kamu. sesungguhnya
Allah Ta’ala Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Dan
Allah Ta’ala pun telah berpesan kepada manusia bahwa takwa adalah
sebaik-baiknya pakaian dimuka bumi ini. Allah Ta’ala berfirman dalam QS al-A'raf
ayat 26:
“Hai
anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi
'auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang
paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan
Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.”
Dan
tentu balasan yang pantas dari Allah Ta’ala untuk orang yang bertakwa adalah
berupa Surga, seperti firman Allah Ta’ala dalam QS ar-Ra'd ayat ke 35:
“Perumpamaan
Surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang takwa ialah (seperti taman)
mengalir sungai-sungai didalamnya; buahnya tak henti-henti, sedang naungannya
(demikian pula). Itulah tempat kesudahan bagi orang-orang yang bertakwa; sedang
tempat kesudahan bagi orang-orang kafir adalah neraka.”
Dan
syarat terakhir menjadi yang terbaik adalah dengan beriman kepada Allah Ta’ala.
Karena sejatinya tanpa keimanan maka semua aktivitas adalah sia-sia. Terlebih
jika mengerjakan suatu aaktivitas yang awalnya ingin diniatkan sebagai bentuk
ibadah kepada Allah maka tanpa keimanan aktivitas tersebut merupakan suatu
keharaman. Ingat, bahwa tujuan manusia hidup dimuka bumi adalah ibadah
(menyembah Allah), Allah berfirman dalam QS adz-Dzaariyat ayat 56:
“Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”
Dan
agar ibadah diterima oleh Allah Ta’ala maka para ulama menyepakati ada dua
syarat yakni yang pertama Niat (ikhlas karena Allah, bukan karena selain Allah)
dan aktivitas ibadah tersebut dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi
wasallam Muhammad SAW. Berkaitan dengan pentingnya niat Ikhlas karena Allah, Rasulullah
Shallallahu’alaihi wasallam pernah bersabda:
Dari
Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob radiallahuanhu, dia berkata: Saya
mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam Shallallahu’alaihi wasallam
bersabda : Sesungguhnya setiap perbuatan
tergantung niatnya. Dan sesungguhnya
setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia
niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan
Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa
yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin
dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan. (HR Bukhari Muslim)
Hadits
ini merupakan salah satu dari hadits-hadits yang menjadi inti ajaran Islam.
Imam Ahmad dan Imam syafi’i berkata: “Dalam hadits tentang niat ini
mencakup sepertiga ilmu”. Sebabnya adalah bahwa perbuatan hamba terdiri
dari perbuatan hati, lisan dan anggota badan, sedangkan niat merupakan salah
satu dari ketiganya. Diriwayatkan dari Imam Syafi’i bahwa dia berkata, “Hadits
ini mencakup tujuh puluh bab dalam fiqh”. Sejumlah ulama bahkan ada
yang berkata, “Hadits ini merupakan sepertiga Islam”.
Asbabul
wurud (latar belakang turunnya hadits
ini) yaitu ada seseorang yang hijrah dari Mekkah ke Madinah dengan tujuan untuk
dapat menikahi seorang wanita yang konon bernama “Ummu Qais” bukan untuk
mendapatkan keutamaan hijrah. Maka orang itu kemudian dikenal dengan sebutan
“Muhajir Ummi Qais” (Orang yang hijrah karena Ummu Qais).
Niat
merupakan syarat layak/diterima atau tidaknya amal perbuatan, dan amal ibadah
tidak akan mendatangkan pahala kecuali berdasarkan niat (karena Allah ta’ala). Waktu
pelaksanaan niat dilakukan pada awal ibadah dan tempatnya di hati. Ikhlas dan
membebaskan niat semata-mata karena Allah ta’ala dituntut pada semua amal
shalih dan ibadah. Seorang mu’min akan diberi ganjaran pahala berdasarkan kadar
niatnya. Semua perbuatan yang bermanfaat dan mubah (boleh) jika diiringi niat
karena mencari keridhoan Allah maka dia akan bernilai ibadah. Yang membedakan
antara ibadah dan adat (kebiasaan/rutinitas) adalah niat.
Kemudian
syarat yang kedua agar ibadah kita diterima oleh Allah adalah ada kesesuaian
dengan apa yang Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam contohkan (hadits
fi’li). Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda dalam sebuah Hadits
yang diriwayatkan Dari Ummul Mu’minin; Ummu Abdillah; Aisyah
radhiallahuanha dia berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam
Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Siapa yang mengada-ada dalam urusan
(agama) kami ini yang bukan (berasal) darinya), maka dia tertolak. (HR
Bukhari dan Muslim), dalam riwayat Muslim disebutkan: siapa yang
melakukan suatu perbuatan (ibadah) yang bukan urusan (agama) kami, maka dia
tertolak.
Maka setiap perbuatan ibadah yang tidak
bersandar pada dalil syar’i ditolak dari pelakunya. Perbuatan yang mengada-ada
dalam urusan agama disebut dengan bid’ah dan hadits tersbut dengan tegas
melarang dari perbuatan bid’ah yang buruk berdasarkan syari’at. Karena
Islam adalah agama yang berdasarkan ittiba’ (mengikuti berdasarkan
dalil) bukan ibtida’ (mengada-adakan sesuatu tanpa dalil) dan Rasulullah
Shallallahu’alaihi wasallam Shallallahu'alaihi wasallam telah berusaha
menjaganya dari sikap yang berlebih-lebihan dan mengada-ada.
Dalil
mengenai dilarangnya melakukan perbuatan bid’ah adalah Diriwayatkan dari Jabir
bin ‘Abdillah radhiyallahu‘anhuma , beliau berkata, “Jika Rasulullah
Shallallahu’alaihi wasallam shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah matanya memerah,
suaranya begitu keras, dan kelihatan begitu marah, seolah-olah beliau adalah
seorang panglima yang meneriaki pasukan ‘Hati-hati dengan serangan musuh di
waktu pagi dan waktu sore ’. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jarak antara pengutusanku dan hari kiamat adalah bagaikan dua jari ini.
[Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berisyarat dengan jari tengah dan jari
telunjuknya]. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. Sesungguhnya
sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah
petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang
diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim) Dalam
riwayat An Nasa’i dikatakan, “Setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (HR.
An-Nasa’i)
Kesimpulannya
adalah bahwa sesungguhnya yang disebut sebagai pemenang adalah dia (bisa siapa
saja) yang melaksanakan Islam secara Kaffah. Contoh nyata yang dapat diambil
adalah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam beserta para Shahabatnya.
Hidup
Untuk Menjadi Pemenang
Nah
demikianlah diatas secuil cuplikan kriteria pemenang, yakni seorang yang dalam
setiap perbuatannya mengandung nilai ibadah. Pemenang yakni orang yang sudah
tahu hakikat dirinya dan potensi-potensi yang ada pada dirinya, sehingga
potensi tersebut dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk membuat manusia dapat menjadi
lebih mulia dibandingkan malaikat. Dan tentu seorang loser (pecundang)
adalah dia yang sama sekali belum menyadari keberadaan dirinya di muka bumi dan
tidak mengetahui potensi dirinya. Bahkan tidak menggunakan potensi tersebut untuk
senantiasa membuatnya lebih dekat kepada ridho Allah, yang dapat menjadikan
derajatnya lebih rendah dari binatang ternak. Allah Ta’ala berfirman dalam QS
al-A'raf ayat 179:
“Dan
sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakn dari jin dan
manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah) dan mereka mempunyai telinga
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu
bagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah
orang-orang yang lalai.”
Namun
kurang lengkap rasanya jika saya tidak menghadirkan sebentuk gambaran tentang
rutinitas dari para generasi terbaik, yakni masa Rasul dan Shahabat. Masa saat
itu adalah masa dimana generasi terbaik hidup. Yakni generasi yang didalamnya
terdapat manusia-manusia yang begitu dekat dengan Surga. Manusia-manusia yang
mendapatkan pujian langsung dari Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman
dalam QS at-Taubah ayat 100:
“Dan
orang-orang yang terdahulu –yang mula-mula (berhijrah dan memberi bantuan) dari
orang-orang Muhajirin dan Anshar, dan orang-orang yang menurut (jejak langkah)
mereka dengan kebaikan (iman dan taat), Allah ridho akan mereka dan mereka pula
ridha terhadap Allah dan Allah menyiapkan untuk mereka Surga-surga yang
mengalir dibawahnya beberapa sungai, mereka kekal didalamnya selama-lamanya;
itulah kemenangan yang besar.”
Pada
ayat terakhir, Allah secara langsung memberikan predikat pemenang kepada
mereka, para Shahabat dan orang-orang yang mengikut jejak mereka. Pujian Allah
kepada mereka juga tertuang dalam QS Ali Imron ayat 110:
“Kamu
(wahai umat Muhammad) adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan bagi manusia,
menyeru kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.”
Pujian
yang datang kepada Shahabat tentang keutamaan mereka juga disampaikan oleh Rasulullah
Shallallahu’alaihi wasallam melaui sabdanya:
“Bintang-bintang
itu adalah amanah bagi langit. Apabila bintang-bintang itu telah musnah maka
tibalah kiamat yang dijanjikan akan menimpa langit. Sedangkan aku adalah amanat
bagi para Shahabatku. Apabila aku telah pergi maka tibalah apa yang dijanjikan
Allah akan terjadi kepada Shahabatku. Sedangkan Shahabatku adalah amanat bagi
umatku. Sehingga apabila para Shahabatku telah pergi maka akan datanglah
sesuatu perselisihan dan perpecahan) yang sudah dijanjikan Allah akan terjadi
kepada umat ini.” (HR Muslim)
Dan Rasulullah
Shallallahu’alaihi wasallam pun memberitakan kepada kita bahwa sebaik-baik
manusia adalah generasi Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dan Shahabat, Rasulullah
Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Sebaik-baik
umat manusia adalah generasiku (Shahabat), kemudian orang–orang yang mengikuti
mereka (tabi’in) dan kemudian orang-orang yang mengikuti mereka (tabi’ut
tabi’in).” (HR Muttafaq
‘alaih)
Keseharian
Seorang Pemenang
Lantas
sebenarnya seperti apakah keseharian mereka (pemenang) itu, yang tidak lain
adalah para Shahabat? Bukankah tulisan ini bertujuan membawa kita kepada
orang-orang seperti mereka (Shahabat), untuk menjadi seorang pemenang, untuk
menjadi salah satu yang terbaik dari 7 Milyar manusia. Maka untuk menuju
menjadi predikat tersebut, pertama yang harus kawan lakukan adalah membaca
kembali tulisan ini dari awal. Dan ketika sudah paham maka aplikasikan ke dalam
dunia nyata, apa-apa yang tertera diatas. Setelah itu mari kita tengok
keseharian Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dan para Shahabat.
Kita
akan menelaah satu per satu keseharian mereka, mulai dari bangun tidur hingga
tidur kembali. Yang juga telah disampaikan oleh Rasulullah Shalallahu’alaihi
wasallam melalui Hadiits.
#Tidur
Berintrospeksi
diri (muhasabah) sesaat sebelum tidur. Sangat dianjurkan sekali bagi setiap
muslim bermuhasabah (berintrospeksi diri) sesaat sebelum tidur, mengevaluasi
segala perbuatan yang telah ia lakukan di siang hari. Lalu jika ia dapatkan
perbuatannya baik maka hendaknya memuji kepada Allah Subhanahu wata'ala dan
jika sebaliknya maka hendaknya segera memohon ampunan-Nya, kembali dan bertobat
kepada-Nya.
Tidur
dini, berdasarkan hadits yang bersumber dari `Aisyah Radhiallahu'anha,
"Bahwasanya Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam tidur pada awal malam
dan bangun pada pengujung malam, lalu beliau melakukan shalat".(Muttafaq
`alaih)
Disunnatkan
berwudhu' sebelum tidur, dan berbaring miring sebelah kanan. Al- Bara' bin
`Azib Radhiallahu'anhu menuturkan; Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam
bersabda: "Apabila kamu akan tidur, maka berwudlu'lah sebagaimana
wudlu' untuk shalat, kemudian berbaringlah dengan miring ke sebelah
kanan..." Dan tidak mengapa berbalik kesebelah kiri nantinya.
Disunnahkan
pula mengibaskan sprei tiga kali sebelum berbaring, berdasarkan hadits Abu
Hurairah Radhiallahu'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam
bersabda: "Apabila seorang dari kamu akan tidur pada tempat
tidurnya, maka hendaklah mengirapkan kainnya pada tempat tidurnya itu terlebih
dahulu, karena ia tidak tahu apa yang ada di atasnya..." Di dalam
satu riwayat dikatakan: "tiga kali". (Muttafaq `alaih)
Makruh
tidur tengkurap. Abu Dzar Radhiallahu'anhu menuturkan; "Nabi
Shallallahu'alaihi wasallam pernah lewat melintasi aku, dikala itu aku sedang
berbaring tengkurap. Maka Nabi Shallallahu'alaihi wasallam membangunkanku
dengan kakinya sambil bersabda :"Wahai Junaidab (panggilan Abu Dzar),
sesungguhnya berbaring seperti ini (tengkurap) adalah cara berbaringnya
penghuni neraka". (H.R. Ibnu Majah dan dinilai shahih oleh
Al-Albani)
Makruh
tidur di atas dak terbuka, karena di dalam hadits yang bersumber dari `Ali bin
Syaiban disebutkan bahwasanya Nabi Shallallahu'alaihi wasallam telah bersabda: "Barangsiapa
yang tidur malam di atas atap rumah yang tidak ada penutupnya, maka hilanglah jaminan
darinya". (HR. Al-Bukhari di dalam al-Adab al-Mufrad, dan dinilai
shahih oleh Al-Albani)
Menutup
pintu, jendela dan memadamkan api dan lampu sebelum tidur. Dari Jabir ra
diriwayatkan bahwa sesungguhnya Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam telah bersabda:
"Padamkanlah lampu di malam hari apa bila kamu akan tidur, tutuplah
pintu, tutuplah rapat-rapat bejana-bejana dan tutuplah makanan dan
minuman". (Muttafaq'alaih)
Membaca
ayat Kursi, dua ayat terakhir dari Surah Al-Baqarah, Surah Al-Ikhlas dan Al-Mu`awwidzatain
(Al-Falaq dan An-Nas), karena banyak hadits-hadits shahih yang menganjurkan hal
tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam beberapa literatur disebutkan
bahwa Rasulullah SAW pernah berwasiat kepada istrinya, Siti Aisyah: "Wahai
Aisyah, janganlah engkau tidur sebelum engkau melakukan empat hal: 1.
Mengkhatamkan Al-Qur'an, 2. Memperoleh syafa'at dariku, 3. Kaum Mu'minin dan
Mu'minat ridho kepadamu, 4. Melaksanakan Haji dan umrah" Aisyah bertanya:
"Ya, Rasulullah... Bagaimana mungkin aku melakukan semua itu sebelum
tidur?" Rasulullah SAW menjawab: "Sebelum tidur: 1. Bacalah surat
al-Ikhlas 3 kali. Maka seakan2 (sama nilainya) dengan mengkhatamkan Al-Qur'an.
2. Bacalah shalawat untukku, "Allaahumma shalli 'ala Muhammad wa 'alaa aali
Muhammad", maka aku akan memberi syafa'at kepadamu. 3. Mintalah ampunan
untuk kaum mi'min/at (Allaahummaghfir lil mu'miniina wal mu'minaat, wa lil
muslimiina wal muslimaat, al-ahyaa-i minhum wal amwaat), maka niscaya mereka
akan meridhoimu. 4. Bacalah "Subahanallah, Wal hamdulillah wa la ilaha
illallah huwallahu akbar", maka seakan2 (sama nilainya) engkau telah
melaksanakan haji dan umrah"
Membaca
do`a-do`a dan dzikir yang keterangannya shahih dari Rasulullah
Shallallahu'alaihi wasallam, seperti : Allaahumma qinii yauma tab'atsu
'ibaadaka. "Ya Allah, peliharalah aku dari adzab-Mu pada hari Engkau
membangkitkan kembali segenap hamba-hamba-Mu". Dibaca tiga kali.(HR.
Abu Dawud dan di hasankan oleh Al Albani). Dan membaca: Bismika Allahumma
Amuutu Wa ahya. "Dengan menyebut nama- Mu ya Allah, aku mati dan aku
hidup." (HR. Al Bukhari)
Apabila
di saat tidur merasa kaget atau gelisah atau merasa ketakutan, maka disunnatkan
(dianjurkan) berdo`a dengan do`a berikut ini : "A'uudzu
bikalimaatillaahit taammati min ghadhabihi Wa syarri 'ibaadihi, wa min
hamazaatisy syayaathiini wa an yahdhuruuna." Artinya, "Aku berlindung
dengan Kalimatullah yang sempurna dari murka-Nya, kejahatan hamba-hamba-Nya,
dari gangguan syetan dan kehadiran mereka kepadaku". (HR. Abu
Dawud dan dihasankan oleh Al Albani)
Hendaknya
apabila bangun tidur membaca : "Alhamdu Lillahilladzii Ahyaanaa
ba'da maa Amaatanaa wa ilaihinnusyuur" Artinya, "Segala puji bagi
Allah yang telah menghidupkan kami setelah kami dimatikan-Nya, dan kepada-Nya
lah kami dikembalikan." (HR. Al-Bukhari)
#Buang
Hajat
Segera
membuang hajat. Apabila seseorang merasa akan buang air maka hendaknya
bersegera melakukannya, karena hal tersebut berguna bagi agamanya dan bagi
kesehatan jasmani. Buang hajat sebelum tidur juga menurut ‘Ali bin Abi Thalib
merupakan suatu terapi kesehatan yang dapat menjauhkan dari berbagai penyakit.
Menjauh
dari pandangan manusia di saat buang air (hajat). berdasarkan hadits yang
bersumber dari al-Mughirah bin Syu`bah Radhiallaahu 'anhu disebutkan, "Bahwasanya
Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam apabila pergi untuk buang air (hajat) maka
beliau menjauh". (Diriwayatkan oleh empat Imam dan dinilai shahih
oleh Al-Albani).
Menghindari
tiga tempat terlarang, yaitu aliran air, jalan-jalan manusia dan tempat
berteduh mereka. Sebab ada hadits dari Mu`adz bin Jabal Radhiallaahu 'anhu yang
menyatakan demikian.
Tidak
mengangkat pakaian sehingga sudah dekat ke tanah, yang demikian itu supaya
aurat tidak kelihatan. Di dalam hadits yang bersumber dari Anas Radhiallaahu
'anhu ia menuturkan: "Biasanya apabila Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
sallam hendak membuang hajatnya tidak mengangkat (meninggikan) kainnya sehingga
sudah dekat ke tanah. (HR. Abu Daud dan At-Turmudzi, dinilai shahih
oleh Albani).
Tidak
membawa sesuatu yang mengandung penyebutan Allah kecuali karena terpaksa.
Karena tempat buang air (WC dan yang serupa) merupakan tempat kotoran dan
hal-hal yang najis, dan di situ setan berkumpul dan demi untuk memelihara nama
Allah dari penghinaan dan tindakan meremehkannya.
Dilarang
menghadap atau membelakangi kiblat, berdasarkan hadits yang bersumber dari Abi
Ayyub Al-Anshari Radhiallahu'anhu menyebutkan bahwasanya Nabi Shallallaahu
'alaihi wa sallam telah bersabda: "Apabila kamu telah tiba di tempat
buang air, maka janganlah kamu menghadap kiblat dan jangan pula
membelakanginya, apakah itu untuk buang air kecil ataupun air besar. Akan
tetapi menghadaplah ke arah timur atau ke arah barat".
(Muttafaq'alaih).
Ketentuan
di atas berlaku apabila di ruang terbuka saja. Adapun jika di dalam ruang (WC)
atau adanya pelindung / penghalang yang membatasi antara si pembuang hajat
dengan kiblat, maka boleh menghadap ke arah kiblat.
Dilarang
kencing di air yang tergenang (tidak mengalir), karena hadits yang bersumber
dari Abu Hurairah Radhiallaahu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallaahu 'alaihi
wa sallam bersabda: "Jangan sekali-kali seorang diantara kamu buang
air kecil di air yang menggenang yang tidak mengalir kemudian ia mandi di
situ". (Muttafaq'alaih).
Makruh
mencuci kotoran dengan tangan kanan, karena hadits yang bersumber dari Abi
Qatadah Radhiallaahu 'anhu menyebutkan bahwasanya Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
sallam bersabda: "Jangan sekali-kali seorang diantara kamu memegang
dzakar (kemaluan)nya dengan tangan kanannya di saat ia kencing, dan jangan pula
bersuci dari buang air dengan tangan kanannya." (Muttafaq'alaih).
Dianjurkan
kencing dalam keadaan duduk, tetapi boleh jika sambil berdiri. Pada dasarnya
buang air kecil itu di lakukan sambil duduk, berdasarkan hadits `Aisyah
Radhiallaahu 'anha yang berkata: Siapa yang telah memberitakan kepada
kamu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam kencing sambil berdiri,
maka jangan kamu percaya, sebab Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak
pernah kencing kecuali sambil duduk. (HR. An-Nasa`i dan dinilai shahih
oleh Al- Albani). Sekalipun demikian seseorang dibolehkan kencing sambil
berdiri dengan syarat badan dan pakaiannya aman dari percikan air kencingnya
dan aman dari pandangan orang lain kepadanya. Hal itu karena ada hadits yang
bersumber dari Hudzaifah, ia berkata: "Aku pernah bersama Nabi
Shallallaahu 'alaihi wa sallam (di suatu perjalanan) dan ketika sampai di
tempat pembuangan sampah suatu kaum beliau buang air kecil sambil berdiri, maka
akupun menjauh daripadanya. Maka beliau bersabda: "Mendekatlah
kemari". Maka aku mendekati beliau hingga aku berdiri di sisi kedua mata
kakinya. Lalu beliau berwudhu dan mengusap kedua khuf-nya."
(Muttafaq alaih).
Makruh
berbicara di saat buang hajat kecuali darurat. berdasarkan hadits yang
bersumber dari Ibnu Umar Shallallaahu 'alaihi wa sallam diriwayatkan: "Bahwa
sesungguhnya ada seorang lelaki lewat, sedangkan Rasulullah Shallallahu'alaihi
wasallam. sedang buang air kecil. Lalu orang itu memberi salam (kepada Nabi),
namun beliau tidak menjawabnya.” (HR. Muslim).
Makruh
bersuci (istijmar) dengan mengunakan tulang dan kotoran hewan, dan
disunnatkan bersuci dengan jumlah ganjil. Di dalam hadits yang bersumber dari
Salman Al-Farisi Radhiallaahu 'anhu disebutkan bahwasanya ia berkata: "Kami
dilarang oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam beristinja (bersuci)
dengan menggunakan kurang dari tiga biji batu, atau beristinja dengan
menggunakan kotoran hewan atau tulang.” (HR. Muslim).
Dan
Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam juga bersabda: "Barangsiapa yang
bersuci menggunakan batu (istijmar), maka hendaklah diganjilkan."
Disunnatkan
masuk ke WC dengan mendahulukan kaki kiri dan keluar dengan kaki kanan
berbarengan dengan dzikirnya masing-masing. Dari Anas bin Malik Radhiallaahu
'anhu diriwayatkan bahwa ia berkata: "Adalah Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa sallam apabila masuk ke WC mengucapkan: "Allaahumma inni
a'udzubika minal khubusi wal khabaaits" Artinya, "Ya
Allah, aku berlindung kepada-Mu dari pada syetan jantan dan syetan
betina".
Dan
apabila keluar, mendahulukan kaki kanan sambil mengucapkan: "Ghufraanaka"
(ampunan-Mu ya Allah).
Mencuci
kedua tangan sesudah menunaikan hajat. Di dalam hadis yang bersumber dari Abu
Hurairah ra. diriwayatkan bahwasanya "Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
sallam menunaikan hajatnya (buang air) kemudian bersuci dari air yang berada
pada sebejana kecil, lalu menggosokkan tangannya ke tanah.” (HR. Abu
Daud dan Ibnu Majah).
#Berpakaian
dan Berhias
Disunnatkan
memakai pakaian baru, bagus dan bersih.
Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda kepada salah seorang shahabatnya
di saat beliau melihatnya mengenakan pakaian jelek: "Apabila Allah
Tabaroka wata'ala mengaruniakan kepadamu harta, maka tampakkanlah bekas ni`mat
dan kemurahan-Nya itu pada dirimu. (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh
Al-Albani).
Pakaian
harus menutup aurat, yaitu longgar tidak membentuk lekuk tubuh dan tebal tidak
memperlihatkan apa yang ada di baliknya.
Pakaian
laki-laki tidak boleh menyerupai pakaian perempuan atau sebaliknya. Karena
hadits yang bersumber dari Ibnu Abbas Radhiallaahu 'anhu ia menuturkan: "Rasulullah
melaknat (mengutuk) kaum laki-laki yang menyerupai kaum wanita dan kaum wanita
yang menyerupai kaum pria." (HR. Al-Bukhari).
Tasyabbuh
atau penyerupaan itu bisa dalam bentuk pakaian ataupun lainnya.
Pakaian
tidak merupakan pakaian show (untuk ketenaran), karena Rasulullah Radhiallaahu
'anhu telah bersabda: "Barang siapa yang mengenakan pakaian
ketenaran di dunia niscaya Allah akan mengenakan padanya pakaian kehinaan di
hari Kiamat." ( HR. Ahmad, dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
Pakaian
tidak boleh ada gambar makhluk yang bernyawa atau gambar salib, karena hadits
yang bersumber dari Aisyah Radhiallaahu 'anha menyatakan bahwasanya beliau
berkata: "Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak pernah membiarkan
pakaian yang ada gambar salibnya melainkan Nabi menghapusnya".
(HR. Al-Bukhari dan Ahmad).
Laki-laki
tidak boleh memakai emas dan kain sutera kecuali dalam keadaan terpaksa. Karena
hadits yang bersumber dari Ali Radhiallaahu 'anhu mengatakan: "Sesungguhnya
Nabi Allah Subhaanahu wa Ta'ala pernah membawa kain sutera di tangan kanannya
dan emas di tangan kirinya, lalu beliau bersabda: Sesungguhnya dua jenis benda
ini haram bagi kaum lelaki dari umatku". (HR. Abu Daud dan dinilai
shahih oleh Al-Albani).
Pakaian
laki-laki tidak boleh panjang melebihi kedua mata kaki. Karena Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda : "Apa yang berada di
bawah kedua mata kaki dari kain itu di dalam neraka" (HR.
Al-Bukhari).
Adapun
perempuan, maka seharusnya pakaiannya menutup seluruh badannya, termasuk kedua
kakinya. Adalah haram hukumnya orang yang menyeret (meng- gusur) pakaiannya
karena sombong dan bangga diri. Sebab ada hadits yang menyatakan: "Allah
tidak akan memperhatikan di hari Kiamat kelak kepada orang yang menyeret
kainnya karena sombong". (Muttafaq'alaih).
Disunnatkan
mendahulukan bagian yang kanan di dalam berpakaian atau lainnya. Aisyah
Radhiallaahu 'anha di dalam haditsnya berkata: "Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa sallam suka bertayammun (memulai dengan yang kanan) di
dalam segala perihalnya, ketika memakai sandal, menyisir rambut dan bersuci.” (Muttafaq'-alaih).
Disunnatkan
kepada orang yang mengenakan pakaian baru membaca: "Segala puji bagi
Allah yang telah menutupi aku dengan pakaian ini dan mengaruniakannya kepada-ku
tanpa daya dan kekuatan dariku". (HR. Abu Daud dan dinilai hasan
oleh Al-Albani).
Disunnatkan
memakai pakaian berwarna putih, karena hadits mengatakan: "Pakailah
yang berwarna putih dari pakaianmu, karena yang putih itu adalah yang terbaik
dari pakaian kamu ..." (HR. Ahmad dan dinilah shahih oleh Albani).
Disunnatkan
menggunakan farfum bagi laki-laki dan perempuan, kecuali bila keduanya dalam
keadaan berihram untuk haji ataupun umrah, atau jika perempuan itu sedang berihdad
(berkabung) atas kematian suaminya, atau jika ia berada di suatu tempat yang
ada laki-laki asing (bukan mahramnya), karena larangannya shahih.
Haram
bagi perempuan memasang tato, menipiskan bulu alis, memotong gigi supaya cantik
dan menyambung rambut (bersanggul). Karena Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
sallam di dalam haditsnya mengatakan: "Allah melaknat (mengutuk)
wanita pemasang tato dan yang minta ditatoi, wanita yang menipiskan bulu
alisnya dan yang meminta ditipiskan dan wanita yang meruncingkan giginya supaya
kelihatan cantik, (mereka) mengubah ciptaan Allah". Dan di dalam
riwayat Imam Al-Bukhari disebutkan: "Allah melaknat wanita yang
menyambung rambutnya". (Muttafaq'alaih).
#Berjalan
Berjalan
dengan sikap wajar dan tawadlu, tidak berlagak sombong di saat berjalan atau
mengangkat kepala karena sombong atau mengalihkan wajah dari orang lain karena
takabbur. Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya: "Dan
janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah
kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri". (Luqman: 18)
Memelihara
pandangan mata, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Allah Subhaanahu wa
Ta'ala berfirman yang artinya: "Katakanlah kepada orang laki- laki
beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya
Allah Yang Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada
wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
memelihara kemaluannya...." (An-Nur: 30-31).
Tidak
mengganggu, yaitu tidak membuang kotoran, sisa makanan di jalan-jalan manusia,
dan tidak buang air besar atau kecil di situ atau di tempat yang dijadikan
tempat mereka bernaung.
Menyingkirkan
gangguan dari jalan. Ini merupakan sedekah yang karenanya seseorang bisa masuk
surga. Dari Abu Hurairah Radhiallaahu 'anhu diriwayatkan bahwasanya Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Ketika ada seseorang
sedang berjalan di suatu jalan, ia menemukan dahan berduri di jalan tersebut,
lalu orang itu menyingkirkannya. Maka Allah bersyukur kepadanya dan mengampuni
dosanya..." Di dalam suatu riwayat disebutkan: maka Allah memasukkannya ke
surga". (Muttafaq'alaih).
Menjawab
salam orang yang dikenal ataupun yang tidak dikenal. Ini hukumnya wajib, karena
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Ada lima
perkara wajib bagi seorang muslim terhadap saudaranya- diantaranya: menjawab
salam". (Muttafaq alaih).
Menunjukkan
orang yang tersesat (salah jalan), memberikan bantuan kepada orang yang
membutuhkan dan menegur orang yang berbuat keliru serta membela orang yang
teraniaya. Di dalam hadits disebutkan: "Setiap persendian manusia
mempunyai kewajiban sedekah...dan disebutkan diantaranya: berbuat adil di
antara manusia adalah sedekah, menolong dan membawanya di atas kendaraannya
adalah sedekah atau mengangkatkan barang-barangnya ke atas kendaraannya adalah
sedekah dan menunjukkan jalan adalah sedekah...." (Muttafaq
alaih).
Perempuan
hendaknya berjalan di pinggir jalan. Pada suatu ketika Nabi pernah melihat
campur baurnya laki-laki dengan wanita di jalanan, maka ia bersabda kepada
wanita: "Meminggirlah kalian, kalain tidak layak memenuhi jalan,
hendaklah kalian menelusuri pinggir jalan.” (HR. Abu Daud, dan dinilai
shahih oleh Al-Albani).
Tidak
ngebut bila mengendarai mobil khususnya di jalan-jalan yang ramai dengan
pejalan kaki, melapangkan jalan untuk orang lain dan memberikan kesempatan
kepada orang lain untuk lewat. Semua itu tergolong di dalam tolong-menolong di
dalam kebajikan.
#Memberi
Salam
Makruh
memberi salam dengan ucapan: "Alaikumus salam" karena
di dalam hadits Jabir Radhiallaahu 'anhu diriwayatkan bahwasanya ia menuturkan
: Aku pernah menjumpai Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam maka aku
berkata: "Alaikas salam ya Rasulallah". Nabi menjawab: "Jangan
kamu mengatakan: Alaikas salam". Di dalam riwayat Abu Daud
disebutkan: "karena sesungguhnya ucapan "alaikas salam"
itu adalah salam untuk orang-orang yang telah mati". (HR. Abu Daud
dan At-Turmudzi, dishahihkan oleh Al-Albani).
Dianjurkan
mengucapkan salam tiga kali jika khalayak banyak jumlahnya. Di dalam hadits
Anas disebutkan bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam apabila ia
mengucapkan suatu kalimat, ia mengulanginya tiga kali. Dan apabila ia datang
kepada suatu kaum, ia memberi salam kepada mereka tiga kali.(HR. Al- Bukhari).
Termasuk
sunnah adalah orang mengendarai kendaraan memberikan salam kepada orang yang
berjalan kaki, dan orang yang berjalan kaki memberi salam kepada orang yang
duduk, orang yang sedikit kepada yang banyak, dan orang yang lebih muda kepada
yang lebih tua. Demikianlah disebutkan di dalam hadits Abu Hurairah yang
muttafaq'alaih.
Disunnatkan
keras ketika memberi salam dan demikian pula menjawabnya, kecuali jika di
sekitarnya ada orang-orang yang sedang tidur. Di dalam hadits Miqdad bin
Al-Aswad disebutkan di antaranya: "dan kami pun memerah susu
(binatang ternak) hingga setiap orang dapat bagian minum dari kami, dan kami
sediakan bagian untuk Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam Miqdad berkata: Maka
Nabi pun datang di malam hari dan memberikan salam yang tidak membangunkan
orang yang sedang tidur, namun dapat didengar oleh orang yang bangun".(HR.
Muslim).
Disunatkan
memberikan salam di waktu masuk ke suatu majlis dan ketika akan
meninggalkannya. Karena hadits menyebutkan: "Apabila salah seorang
kamu sampai di suatu majlis hendaklah memberikan salam. Dan apabila hendak
keluar, hendaklah memberikan salam, dan tidaklah yang pertama lebih berhak
daripada yang kedua.” (HR. Abu Daud dan disahihkan oleh Al-Albani).
Disunnatkan
memberi salam di saat masuk ke suatu rumah sekalipun rumah itu kosong, karena
Allah telah berfirman yang artinya: "Dan apabila kamu akan masuk ke
suatu rumah, maka ucapkanlah salam atas diri kalian" (An-Nur: 61)
Dan
karena ucapan Ibnu Umar Radhiallaahu 'anhuma : "Apabila seseorang
akan masuk ke suatu rumah yang tidak berpenghuni, maka hendaklah ia mengucapkan
: Assalamu `alaina wa `ala `ibadillahis shalihin" (HR. Bukhari di
dalam Al-Adab Al-Mufrad, dan disahihkan oleh Al-Albani).
Dimakruhkan
memberi salam kepada orang yang sedang di WC (buang hajat), karena hadits Ibnu
Umar Radhiallaahu 'anhuma yang menyebutkan "Bahwasanya ada seseorang
yang lewat sedangkan Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam sedang buang air
kecil, dan orang itu memberi salam. Maka Nabi tidak menjawabnya".
(HR. Muslim)
Disunnatkan
memberi salam kepada anak-anak, karena hadits yang bersumber dari Anas
Radhiallaahu 'anhu menyebutkan: Bahwasanya ketika ia lewat di sekitar anak-anak
ia memberi salam, dan ia mengatakan: "Demikianlah yang dilakukan
oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam". (Muttafaq'alaih).
Tidak
memulai memberikan salam kepada Ahlu Kitab, sebab Rasulullah Shallallaahu 'alaihi
wa sallam bersabda: "Janganlah kalian terlebih dahulu memberi salam
kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani....." (HR. Muslim). Dan
apabila mereka yang memberi salam maka kita jawab dengan mengucapkan "wa
`alaikum" saja, karena sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam : "Apabila
Ahlu Kitab memberi salam kepada kamu, maka jawablah: wa `alaikum".(Muttafaq'alaih).
Disunnatkan
memberi salam kepada orang yang kamu kenal ataupun yang tidak kamu kenal. Di
dalam hadits Abdullah bin Umar Radhiallaahu 'anhu disebutkan bahwasanya ada
seseorang yang bertanya kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam : "Islam
yang manakah yang paling baik? Jawab Nabi: Engkau memberikan makanan dan
memberi salam kepada orang yang telah kamu kenal dan yang belum kamu
kenal". (Muttafaq'alaih).
Disunnatkan
menjawab salam orang yang menyampaikan salam lewat orang lain dan kepada yang
dititipinya. Pada suatu ketika seorang lelaki datang kepada Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa sallam lalu berkata: Sesungguhnya ayahku menyampaikan
salam untukmu. Maka Nabi menjawab : "`alaika wa`ala abikas
salam"
Dilarang
memberi salam dengan isyarat kecuali ada uzur, seperti karena sedang shalat
atau bisu atau karena orang yang akan diberi salam itu jauh jaraknya. Di dalam
hadits Jabir bin Abdillah Radhiallaahu 'anhu diriwayatkan bahwasanya Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Janganlah kalian memberi
salam seperti orang-orang Yahudi dan Nasrani, karena sesungguhnya pemberian
salam mereka memakai isyarat dengan tangan". (HR. Al-Baihaqi dan
dinilai hasan oleh Al-Albani).
Disunnatkan
kepada seseorang berjabat tangan dengan saudaranya. Hadits Rasulullah mengatakan:
"Tiada dua orang muslim yang saling berjumpa lalu berjabat tangan,
melainkan diampuni dosa keduanya sebelum mereka berpisah" (HR. Abu
Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani).
Dianjurkan
tidak menarik (melepas) tangan kita terlebih dahulu di saat berjabat tangan
sebelum orang yang dijabat tangani itu melepasnya. Hadits yang bersumber dari
Anas Radhiallaahu 'anhu menyebutkan: "Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
sallam apabila ia diterima oleh seseorang lalu berjabat tangan, maka Nabi tidak
melepas tangannya sebelum orang itu yang melepasnya...." (HR. At-
Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani).
Haram
hukumnya membungkukkan tubuh atau sujud ketika memberi penghormatan, karena
hadits yang bersumber dari Anas menyebutkan: Ada seorang lelaki berkata: Wahai
Rasulullah, kalau salah seorang di antara kami berjumpa dengan temannya, apakah
ia harus membungkukkan tubuhnya kepadanya? Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam
menjawab: "Tidak". Orang itu bertanya: Apakah ia merangkul dan
menciumnya? Jawab nabi: Tidak. Orang itu bertanya: Apakah ia berjabat tangan
dengannya? Jawab Nabi: Ya, jika ia mau. (HR. At-Turmudzi dan dinilai
shahih oleh Al-Albani).
Haram
berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram. Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa sallam ketika akan dijabat tangani oleh kaum wanita di saat baiat,
beliau bersabda: "Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan kaum
wanita". (HR.Turmudzi dan Nasai, dan dishahihkan oleh Albani).
#Meminta
Izin
Hendaknya
orang yang akan meminta izin memilih waktu yang tepat untuk minta izin.
Hendaknya
orang yang akan minta izin mengetuk pintu rumah orang yang akan dikunjunginya
secara pelan. Anas Radhiallaahu 'anhu meriwayatkan bahwasanya ia telah berkata:
“Sesungguhnya pintu-pintu kediaman Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam
diketuk (oleh para tamunya) dengan ujung kuku". (HR. Al-Bukhari di
dalam Al-Adab Al-Mufrad dan dishahihkan oleh Al-Albani).
Hendaknya
orang yang mengetuk pintu tidak menghadap ke pintu yang diketuk, tetapi
sebaiknya menolehkan pandangannya ke kanan atau ke kiri agar pandangan tidak
terjatuh kepada sesuatu di dalam rumah tersebut yang dimana penghuni rumah
tidak ingin ada orang lain yang melihatnya. Karena minta izin itu sebenarnya
dianjurkan untuk menjaga pandangan.
Sebelum
minta izin hendaknya memberi salam terlebih dahulu. Rib`iy berkata: Telah
bercerita kepada saya seorang lelaki dari Bani `Amir, bahwasanya ia pernah
minta izin kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam di saat beliau ada di
suatu rumah. Orang itu berkata: Bolehkah saya masuk? Maka Nabi Shallallaahu
'alaihi wa sallam berkata kepada pembantunya: "Jumpailah orang itu
dan ajari dia cara minta izin, dan katakan kepadanya: Ucapkan Assalamu
`alaikum, bolehkah saya masuk?". (HR. Ahmad dan Abu Daud,
dishahihkan oleh Al-Albani).
Minta
izin itu sampai tiga kali, jika sesudah tiga kali tidak ada jawaban maka
hendaknya pulang. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: "Apabila
salah seorang di antara kamu minta izin sudah tiga kali, lalu tidak diberi
izin, maka hendaklah ia pulang". (Muttafaq'alaih).
Apabila
orang yang minta izin itu ditanya tentang namanya, maka hendaklah ia
menyebutkan nama dan panggilannya, dan jangan mengatakan: "Saya".
Jabir Radhiallaahu 'anhu menuturkan: "Aku pernah datang kepada Nabi
Shallallaahu 'alaihi wa sallam untuk menanyakan hutang yang ada pada ayah saya.
Maka aku ketuk pintu (rumah Nabi). Lalu Nabi berkata: "Siapa itu?".
Maka aku jawab: Saya. Maka Nabi berkata: "Saya! Saya!" dengan nada
tidak suka." (Muttafaq'alaih).
Hendaknya
peminta izin pulang apabila permintaan izinnya ditolak, karena Allah telah
berfirman yang artinya: "Dan jika dikatakan kepada kamu
"pulang", maka pulanglah kamu, karena yang demikian itu lebih suci
bagi kamu". (An-Nur: 28).
Hendaknya
peminta izin tidak memasuki rumah apabila tidak ada orangnya, karena hal
tersebut merupakan perbuatan melampaui hak orang lain. Cukuplah tiga kali
mengucapkan salam, jika tidak dijawab dan diizinkan masuk, maka pergilah.
#Dalam
Majlis
Hendaknya
memberi salam kepada orang-orang yang di dalam majlis di saat masuk dan keluar
dari majlis tersebut. Abu Hurairah Radhiallaahu 'anhu telah meriwayatkan
bahwasanya Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: "Apabila
salah seorang kamu sampai di suatu majlis, maka hendaklah memberi salam, lalu
jika dilihat layak baginya duduk maka duduklah ia. Kemudian jika bangkit (akan
keluar) dari majlis hendaklah memberi salam pula. Bukanlah yang pertama lebih
berhak daripada yang selanjutnya.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi,
dinilai shahih oleh Al-Albani).
Hendaknya
duduk di tempat yang masih tersisa. Jabir bin Samurah telah menuturkan: Adalah
kami, apabila kami datang kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam maka
masing-masing kami duduk di tempat yang masih tersedia di majlis. (HR. Abu Daud
dan dishahihkan oleh Al-Albani).
Jangan
sampai memindahkan orang lain dari tempat duduknya kemudian mendudukinya, akan
tetapi berlapang-lapanglah di dalam majlis. Ibnu Umar Radhiallaahu 'anhuma
telah meriwayatkan bahwa sesungguhnya Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah
bersabda: "Seseorang tidak boleh memindahkan orang lain dari tempat
duduknya, lalu ia menggantikannya, akan tetapi berlapanglah dan
perluaslah." (Muttafaq'alaih).
Tidak
duduk di tengah-tengah halaqah (lingkaran majlis). Tidak duduk di antara dua
orang yang sedang duduk kecuali seizin mereka. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi
wa sallam bersabda: "Tidak halal bagi seseorang memisah di antara
dua orang kecuali seizin keduanya". (HR. Ahmad dan dishahihkan
oleh Al-Albani).
Tidak
boleh menempati tempat duduk orang lain yang keluar sementara waktu untuk suatu
keperluan. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Apabila
seorang di antara kamu bangkit (keluar) dari tempat duduknya, kemudian kembali,
maka ia lebih berhak menempatinya". (HR.Muslim)
Tidak
berbisik berduaan dengan meninggalkan orang ketiga. Ibnu Mas`ud Radhiallaahu
'anhu menuturkan : Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: "Apabila
kamu tiga orang, maka dua orang tidak boleh berbisik-bisik tanpa melibatkan
yang ketiga sehingga kalian bercampur baur dengan orang banyak, karena hal
tersebut dapat membuatnya sedih". (Muttafaq'alaih).
Para
anggota majlis hendaknya tidak banyak tertawa. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi
wa sallam telah bersabda: "Janganlah kamu memperbanyak tawa, karena
banyak tawa itu mematikan hati". (HR. Ibnu Majah dan dinilai
shahih oleh Al- Albani).
Hendaknya
setiap anggota majlis menjaga pembicaraan yang terjadi di dalam forum (majlis).
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Apabila
seseorang membicarakan suatu pembicaraan kemudian ia menoleh, maka itu adalah
amanat". (HR. At-Tirmidzi, dinilai hasan oleh Al-Albani).
Anggota
majlis hendaknya tidak melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan
perasaan orang lain, seperti menguap atau membuang ingus atau bersendawa di
dalam majlis.
Tidak
melakukan perbuatan memata-matai. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam
bersabda: "Janganlah kamu mencari-cari atau memata-matai
orang". (Muttafaq'alaih).
Disunnatkan
menutup majlis dengan do`a Kaffarat majlis, karena Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa sallam telah bersabda: "Barang siapa yang duduk di dalam
suatu majlis dan di majlis itu terjadi banyak gaduh, kemudian sebelum bubar
dari majlis itu ia membaca :
سُبْحَانَكَ اَللَّهُمَّ
وَبِحَمْدِكَ ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ
إِلَيْكَ
"Maha Suci Engkau ya Allah, dengan segala
puji bagi-Mu; aku bersaksi bahwasanya tiada yang berhak disembah selain engkau;
aku memohon ampunanmu dan aku bertobat kepada-Mu", melainkan Allah
mengampuni apa yang terjadi di majlis itu baginya". (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Al- Albani).
#Berbicara
Hendaknya
pembicaran selalu di dalam kebaikan. Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman yang
artinya: "Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisik-bisikan mereka,
kecuali bisik-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau
berbuat ma`ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia".
(An-Nisa: 114).
hendaknya
pembicaran dengan suara yang dapat dide-ngar, tidak terlalu keras dan tidak
pula terlalu rendah, ungkapannya jelas dapat difahami oleh semua orang dan
tidak dibuat-buat atau dipaksa-paksakan.
Jangan
membicarakan sesuatu yang tidak berguna bagimu. Hadits Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa sallam menyatakan: "Termasuk kebaikan islamnya seseorang
adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna". (HR. Ahmad dan
Ibnu Majah).
Janganlah
kamu membicarakan semua apa yang kamu dengar. Abu Hurairah Radhiallaahu 'anhu
di dalam hadisnya menuturkan : Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah
bersabda: "Cukuplah menjadi suatu dosa bagi seseorang yaitu apabila
ia membicarakan semua apa yang telah ia dengar". (HR. Muslim)
Menghindari
perdebatan dan saling membantah, sekali-pun kamu berada di fihak yang benar dan
menjauhi perkataan dusta sekalipun bercanda. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
sallam bersabda: "Aku adalah penjamin sebuah istana di taman surga
bagi siapa saja yang menghindari bertikaian (perdebatan) sekalipun ia benar;
dan (penjamin) istana di tengah-tengah surga bagi siapa saja yang meninggalkan
dusta sekalipun bercanda". (HR. Abu Daud dan dinilai hasan oleh
Al-Albani).
Tenang
dalam berbicara dan tidak tergesa-gesa. Aisyah Radhiallaahu 'anha. telah
menuturkan: "Sesungguhnya Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam
apabila membicarakan suatu pembicaraan, sekiranya ada orang yang menghitungnya,
niscaya ia dapat menghitungnya". (Mutta-faq'alaih).
Menghindari
perkataan jorok (keji). Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Seorang
mu'min itu pencela atau pengutuk atau keji pembicaraannya". (HR.
Al-Bukhari di dalam Al-Adab Mufrad, dan dishahihkan oleh Al-Albani).
Menghindari
sikap memaksakan diri dan banyak bicara di dalam berbicara. Di dalam hadits
Jabir Radhiallaahu 'anhu disebutkan: "Dan sesungguhnya manusia yang
paling aku benci dan yang paling jauh dariku di hari Kiamat kelak adalah orang
yang banyak bicara, orang yang berpura-pura fasih dan orang-orang yang
mutafaihiqun". Para shahabat bertanya: Wahai Rasulllah, apa arti
mutafaihiqun? Nabi menjawab: "Orang-orang yang sombong". (HR.
At-Turmudzi, dinilai hasan oleh Al-Albani).
Menghindari
perbuatan menggunjing (ghibah) dan mengadu domba. Allah Subhaanahu wa Ta'ala
berfirman yang artinya: "Dan janganlah sebagian kamu menggunjing
sebagian yang lain". (Al-Hujurat: 12).
Mendengarkan
pembicaraan orang lain dengan baik dan tidak memotongnya, juga tidak
menampakkan bahwa kamu mengetahui apa yang dibicarakannya, tidak menganggap
rendah pendapatnya atau mendustakannya.
Jangan
memonopoli dalam berbicara, tetapi berikanlah kesempatan kepada orang lain
untuk berbicara. Menghindari perkataan kasar, keras dan ucapan yang menyakitkan
perasaan dan tidak mencari-cari kesalahan pembicaraan orang lain dan
kekeliruannya, karena hal tersebut dapat mengundang kebencian, permusuhan dan
pertentangan.
Menghindari
sikap mengejek, memperolok-olok dan memandang rendah orang yang berbicara.
Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya: "Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokan kaum yang lain
(karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokan) lebih baik dari mereka (yang
mengolok-olokan), dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokan) wanita-wanita
lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokan) lebih baik dari
wanita (yang mengolok-olokan).” (Al-Hujurat: 11).
#Berpendapat
Ikhlas
dan mencari yang haq serta melepaskan diri dari nafsu di saat berbeda pendapat.
Juga menghindari sikap show (ingin tampil) dan membela diri dan nafsu.
Mengembalikan
perkara yang diperselisihkan kepada Kitab Al-Qur'an dan Sunnah. Karena Allah
Subhaanahu wa Ta'ala telah berfirman yang artinya: "Dan jika kamu
berselisih pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Kitab)
dan Rasul". (An-Nisa: 59).
Berbaik
sangka kepada orang yang berbeda pendapat denganmu dan tidak menuduh buruk
niatnya, mencela dan menganggapnya cacat.
Sebisa
mungkin berusaha untuk tidak memperuncing perselisihan, yaitu dengan cara
menafsirkan pendapat yang keluar dari lawan atau yang dinisbatkan kepadanya
dengan tafsiran yang baik.
Berusaha
sebisa mungkin untuk tidak mudah menyalahkan orang lain, kecuali sesudah
penelitian yang dalam dan difikirkan secara matang.
Berlapang
dada di dalam menerima kritikan yang ditujukan kepada anda atau
catatan-catatang yang dialamatkan kepada anda.
Sedapat
mungkin menghindari permasalahan-permasalahan khilafiyah dan fitnah.
Berpegang
teguh dengan etika berdialog dan menghindari perdebatan, bantah-membantah dan
kasar menghadapi lawan.
#Bercanda
Hendaknya
percandaan tidak mengandung nama Allah, ayat-ayat-Nya, Sunnah rasul-Nya atau
syi`ar-syi`ar Islam. Karena Allah telah berfirman tentang orang- orang yang
memperolok-olokan shahabat Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam , yang ahli baca
al-Qur`an yang artimya: "Dan jika kamu tanyakan kepada mereka
(tentang apa yang mereka lakukan), tentulah mereka menjawab:
"Sesungguh-nya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja".
Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu
berolok-olok?". Tidak usah kamu minta ma`af, karena kamu kafir sesudah
beriman". (At-Taubah: 65-66).
Hendaknya
percandaan itu adalah benar tidak mengandung dusta. Dan hendaknya pecanda tidak
mengada-ada cerita-cerita khayalan supaya orang lain tertawa. Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Celakalah bagi orang yang
berbicara lalu berdusta supaya dengannya orang banyak jadi tertawa. Celakalah
baginya dan celakalah". (HR. Ahmad dan dinilai hasan oleh
Al-Albani).
Hendaknya
percandaan tidak mengandung unsur menyakiti perasaan salah seorang di antara
manusia. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Janganlah
seorang di antara kamu mengambil barang temannya apakah itu hanya canda atau
sungguh-sungguh; dan jika ia telah mengambil tongkat temannya, maka ia harus
mengembalikannya kepadanya". (HR. Ahmad dan Abu Daud; dinilai
hasan oleh Al-Albani).
Bercanda
tidak boleh dilakukan terhadap orang yang lebih tua darimu, atau terhadap orang
yang tidak bisa bercanda atau tidak dapat menerimanya, atau terhadap perempuan
yang bukan mahrammu.
Hendaknya
anda tidak memperbanyak canda hingga menjadi tabiatmu, dan jatuhlah wibawamu
dan akibatnya kamu mudah dipermainkan oleh orang lain.
#Berada
dalam Masjid
Berdo`a
di saat pergi ke masjid. Berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu beliau
menyebutkan: Adalah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam apabila ia keluar
(rumah) pergi shalat (di masjid) berdo`a : "Ya Allah, jadikanlah
cahaya di dalam hatiku, dan cahaya pada lisanku, dan jadikanlah cahaya pada
pendengaranku dan cahaya pada penglihatanku, dan jadikanlah cahaya dari
belakangku, dan cahaya dari depanku, dan jadikanlah cahaya dari atasku dan
cahaya dari bawahku. Ya Allah, anugerahilah aku cahaya".
(Muttafaq'alaih).
Berjalan
menuju masjid untuk shalat dengan tenang dan khidmat. Rasulullah Shallallaahu
alaihi wa Sallam telah bersabda: "Apabila shalat telah diiqamatkan,
maka janganlah kamu datang menujunya dengan berlari, tetapi datanglah kepadanya
dengan berjalan dan memperhatikan ketenangan. Maka apa (bagian shalat) yang
kamu dapati ikutilah dan yang tertinggal sempurnakanlah.”
(Muttafaq'alaih).
Berdo`a
disaat masuk dan keluar masjid. Disunatkan bagi orang yang masuk masjid
mendahulukan kaki kanan, kemudian bershalawat kepada Nabi Shallallaahu alaihi
wa Sallam lalu mengucapkan: "(Ya Allah, bukakanlah bagiku
pintu-pintu rahmat-Mu)"
Dan
bila keluar mendahulukan kaki kiri, lalu bershalawat kepada Nabi Shallallaahu
alaihi wa Sallam kemudian membaca do`a: "(Ya Allah, sesungguhnya aku
memohon bagian dari karunia-Mu)". (HR. Muslim).
Disunnatkan
melakukan shalat sunnah tahiyatul masjid bila telah masuk masjid. Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila seorang di antara
kamu masuk masjid hendaklah shalat dua raka`at sebelum duduk".
(Muttafaq alaih).
Dilarang
berjual-beli dan mengumumkan barang hilang di dalam masjid. Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila kamu melihat orang
yang menjual atau membeli sesuatu di dalam masjid, maka doakanlah "Semoga
Allah tidak memberi keuntungan bagimu". Dan apabila kamu melihat orang
yang mengumumkan barang hilang, maka do`akanlah "Semoga Allah tidak
mengembalikan barangmu yang hilang". (HR. At-Turmudzi dan
dishahihkan oleh Al-Albani).
Dilarang
masuk ke masjid bagi orang makan bawang putih, bawang merah atau orang yang
badannya berbau tidak sedap. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda:
"Barangsiapa yang memakan bawang putih, bawang merah atau bawang
daun, maka jangan sekali-kali mendekat ke masjid kami ini, karena malaikat
merasa terganggu dari apa yang dengan-nya manusia terganggu". (HR.
Muslim). Dan termasuk juga rokok dan bau lain yang tidak sedap yang keluar dari
badan atau pakaian.
Dilarang
keluar dari masjid sesudah adzan. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam
bersabda: "Apabila muadzin telah adzan, maka jangan ada seorangpun
yang keluar sebelum shalat". (HR. Al-Baihaqi dan dishahihkan oleh
Al-Albani).
Tidak
lewat di depan orang yang sedang shalat, dan disunnatkan bagi orang yang sholat
menaroh batas di depannya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: "Kalau
sekiranya orang yang lewat di depan orang yang sedang sholat itu mengetahui
dosa perbuatannya, niscaya ia berdiri dari jarak empat puluh itu lebih baik
baginya daripada lewat di depannya". (Muttafaq alaih).
Tidak
menjadikan masjid sebagai jalan. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam
bersabda: "Janganlah kamu menjadikan masjid sebagai jalan, kecuali
(sebagai tempat) untuk berzikir dan shalat". (HR. Ath-Thabrani,
dinilai hasan oleh Al- Albani).
Tidak
menyaringkan suara di dalam masjid dan tidak mengganggu orang-orang yang sedang
shalat. Termasuk perbuatan mengganggu orang shalat adalah membiarkan Handphone
anda dalam keadaan aktif di saat shalat.
Hendaknya
wanita tidak memakai farfum atau berhias bila akan pergi ke masjid. Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila salah seorang di
antara kamu (kaum wanita) ingin shalat di masjid, maka janganlah menyentuh
farfum". (HR. Muslim).
Orang
yang junub, wanita haid atau nifas tidak boleh masuk masjid. Allah berfirman: "(Dan
jangan pula menghampiri masjid), sedang kamu dalam keadaan junub, kecuali
sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi". (an-Nisa: 43). dan dari
`Aisyah Radhiallaahu anha meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallaahu alaihi wa
Sallam telah bersabda kepadanya: "Ambilkan buat saya kain alas dari
masjid". Aisyah menjawab: Sesungguhnya aku haid? Nabi bersabda: "Sesungguhnya
haidmu bukan di tanganmu". (HR. Muslim).
#Membaca
Qur’an
Sebaiknya
orang yang membaca Al-Qur'an dalam keadaan sudah berwudhu, suci pakaiannya,
badannya dan tempatnya serta telah bergosok gigi.
Hendaknya
memilih tempat yang tenang dan waktunya pun pas, karena hal tersebut lebih
dapat konsentrasi dan jiwa lebih tenang.
Hendaknya
memulai tilawah dengan ta`awwudz, kemu-dian basmalah pada setiap awal surah
selain selain surah At-Taubah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya:
"Apabila kamu akan membaca al-Qur'an, maka memohon perlindungan-lah
kamu kepada Allah dari godaan syetan yang terkutuk". (An-Nahl:
98).
Hendaknya
selalu memperhatikan hukum-hukum tajwid dan membunyikan huruf sesuai dengan
makhrajnya serta membacanya dengan tartil (perlahan-lahan). Allah berfirman
yang Subhanahu wa Ta'ala artinya: "Dan Bacalah Al-Qur'an itu dengan
perlahan-lahan". (Al-Muzzammil: 4).
Disunnatkan
memanjangkan bacaan dan memperindah suara di saat membacanya. Anas bin Malik
Radhiallaahu anhu pernah ditanya: Bagaimana bacaan Nabi Shallallaahu alaihi wa
Sallam (terhadap Al-Qur'an? Anas menjawab: "Bacaannya panjang (mad),
kemudian Nabi membaca "Bismillahirrahmanirrahim" sambil memanjangkan
Bismillahi, dan memanjangkan bacaan ar-rahmani dan memanjangkan bacaan
ar-rahim". (HR. Al-Bukhari). Dan Nabi Shallallaahu alaihi wa
Sallam juga bersabda: "Hiasilah suara kalian dengan Al-Qur'an".
(HR. Abu Daud, dan dishahih-kan oleh Al-Albani).
Hendaknya
membaca sambil merenungkan dan menghayati makna yang terkandung pada ayat-ayat
yang dibaca, berinteraksi dengannya, sambil memohon surga kepada Allah bila
terbaca ayat-ayat surga, dan berlindung kepada Allah dari neraka bila terbaca
ayat-ayat neraka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya: "Ini
adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya
mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang
yang mempunyai fikiran." (Shad: 29). Dan di dalam hadits Hudzaifah
ia menuturkan: "......Apabila Nabi terbaca ayat yang mengandung
makna bertasbih (kepada Allah) beliau bertasbih, dan apabila terbaca ayat yang
mengandung do`a, maka beliau berdo`a, dan apabila terbaca ayat yang bermakna
meminta perlindungan (kepada Allah) beliau memohon perlindungan".
(HR. Muslim). Allah berfirman yang artinya:
Hendaknya
mendengarkan bacaan Al-Qur'an dengan baik dan diam, tidak berbicara. Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya: "Dan apabila Al- Qur'an
dibacakan, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar
kamu men-dapat rahmat". (Al-A`raf: 204).
Hendaklah
selalu menjaga al-Qur'an dan tekun membacanya dan mempelajarinya (bertadarus)
hingga tidak lupa. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: "Peliharalah
Al-Qur'an baik-baik, karena demi Tuhan yang diriku berada di tangan-Nya, ia
benar-benar lebih liar (mudah lepas) dari pada unta yang terikat di tali
kendalinya". (HR. Al-Bukhari).
Hendaknya
tidak menyentuh Al-Qur'an kecuali dalam keadaan suci. Allah Subhanahu wa Ta'ala
telah berfirman yang artinya: "Tidak akan menyentuhnya kecuali
orang-orang yang disucikan". (Al-Waqi`ah: 79).
Boleh
bagi wanita haid dan nifas membaca al-Qur'an dengan tidak menyentuh mushafnya
menurut salah satu pendapat ulama yang lebih kuat, karena tidak ada hadits
shahih dari Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam yang melarang hal
tersebut.
Disunnatkan
menyaringkan bacaan Al-Qur'an selagi tidak ada unsur yang negatif, seperti riya
atau yang serupa dengannya, atau dapat mengganggu orang yang sedang shalat,
atau orang lain yang juga membaca Al-Qur'an.
Termasuk
sunnah adalah berhenti membaca bila sudah ngantuk, karena Rasulullah Shallallaahu
alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila salah seorang kamu bangun di
malam hari, lalu lisannya merasa sulit untuk membaca Al-Qur'an hingga tidak
menyadari apa yang ia baca, maka hendaknya ia berbaring (tidur)".
(HR. Muslim).
#Berdoa
Terlebih
dahulu sebelum berdo`a hendaknya memuji kepada Allah kemudian bershalawat
kepada Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa
Sallam pernah mendengar seorang lelaki sedang berdo`a di dalam shalatnya, namun
ia tidak memuji kepada Allah dan tidak bershalawat kepada Nabi Shallallaahu alaihi
wa Sallam maka Nabi bersabda kepadanya: "Kamu telah tergesa-gesa
wahai orang yang sedang shalat. Apabila anda selesai shalat, lalu kamu duduk,
maka memujilah kepada Allah dengan pujian yang layak bagi-Nya, dan
bershalawatlah kepadaku, kemudian berdo`alah". (HR. At-Turmudzi,
dan dishahihkan oleh Al-Albani).
Mengakui
dosa-dosa, mengakui kekurangan (keteledoran diri) dan merendahkan diri,
khusyu', penuh harapan dan rasa takut kepada Allah di saat anda berdo`a. Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya: "Sesungguhnya mereka
adalah orang-orang yang selalu bersegera di dalam (mengerjakan) perbuatan-
perbuatan yang baik dan mereka berdo`a kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan
mereka adalah orang-orang yang khusyu` kepada Kami". (Al- Anbiya':
90).
Berwudhu'
sebelum berdo`a, menghadap Kiblat dan mengangkat kedua tangan di saat berdo`a.
Di dalam hadits Abu Musa Al-Asy`ari Radhiallaahu anhu disebutkan bahwa setelah
Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam selesai melakukan perang Hunain: "
Beliau minta air lalu berwudhu, kemudian mengangkat kedua tangannya; dan aku melihat
putih kulit ketiak beliau". (Muttafaq'alaih).
Benar-benar
(meminta sangat) di dalam berdo`a dan berbulat tekad di dalam memohon.
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila kamu
berdo`a kepada Allah, maka bersungguh-sungguhlah di dalam berdo`a, dan jangan
ada seorang kamu yang mengatakan :Jika Engkau menghendaki, maka berilah
aku", karena sesungguhnya Allah itu tidak ada yang dapat memaksanya".
Dan di dalam satu riwayat disebutkan: "Akan tetapi hendaknya ia bersungguh-
sungguh dalam memohon dan membesarkan harapan, karena sesungguhnya Allah tidak
merasa berat karena sesuatu yang Dia berikan". (Muttafaq'alaih).
Menghindari
do`a buruk terhadap diri sendiri, anak dan harta. Rasulullah Shallallaahu
alaihi wa Sallam bersabda: "Jangan sekali-kali kamu mendo`akan buruk
terhadap diri kamu dan juga terhadap anak-anak kamu dan pula terhadap harta
kamu, karena khawatir do`a kamu bertepatan dengan waktu dimana Allah
mengabulkan do`amu". (HR. Muslim).
Merendahkan
suara di saat berdo`a. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: "Wahai
sekalian manusia, kasihanilah diri kamu, karena sesungguhnya kamu tidak berdo`a
kepada yang tuli dan tidak pula ghaib, sesungguhnya kamu berdo`a (memohon)
kepada Yang Maha Mendengar lagi Maha Dekat dan Dia selalu menyertai kamu".
(HR. Al-Bukhari).
Berkonsentrasi
di saat berdo`a. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: "Berdo`alah
kamu kepada Allah sedangkan kamu dalam keadaan yakin dikabulkan, dan ketahuilah
bahwa sesungguhnya Allah tidak mengabulkan do`a dari hati yang lalai".
(HR. At-Turmudzi dan dihasankan oleh Al-Albani).
Tidak
memaksa bersajak di dalam berdo`a. Ibnu Abbas pernah berkata kepada `Ikrimah: "Lihatlah
sajak dari do`amu, lalu hindarilah ia, karena sesungguhnya aku memperhatikan
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam dan para shahabatnya tidak melakukan
hal tersebut". (HR. Al-Bukhari).
Islam
merupakan agama yang fitrah, dimana setiap manusia yang menjadikan Islam
sebagai pedoman hidup maka tidak akan tersesat dalam menjalani kehidupan dunia
dan juga akhirat. Bahkan jika ada seorang mu’allaf yang baru memeluk Islam,
maka baginya tidak akan terlalu repot untuk beradaptasi dan menyesuaikan diri
dengan Islam, karena seperti kata saya diawal bahwa Islam merupakan fitrah.
Agama yang menentramkan hati, menyejukkan jiwa dan memuaskan akal.
#Makan
dan Minum
Berupaya
untuk mencari makanan yang halal. Allah Subhanahu wata'ala berfirman: “Wahai
orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-baik yang Kami
berikan kepadamu”. (Al-Baqarah: 172). Yang baik disini artinya adalah
yang halal.
Hendaklah
makan dan minum yang kamu lakukan diniatkan agar bisa dapat beribadah kepada
Allah, agar kamu mendapat pahala dari makan dan minummu itu.
Hendaknya
mencuci tangan sebelum makan jika tangan kamu kotor, dan begitu juga setelah
makan untuk menghilangkan bekas makanan yang ada di tanganmu.
Hendaklah
kamu puas dan rela dengan makanan dan minuman yang ada, dan jangan sekali-kali
mencelanya. Abu Hurairah Radhiallaahu anhu di dalam haditsnya menuturkan: “Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Sallam sama sekali tidak pernah mencela makanan. Apabila
suka sesuatu ia makan dan jika tidak, maka ia tinggalkan”.
(Muttafaq’alaih).
Hendaknya
jangan makan sambil bersandar atau dalam keadaan menyungkur. Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda; “Aku tidak makan sedangkan aku
menyandar”. (HR. al-Bukhari). Dan di dalam haditsnya, Ibnu Umar
Radhiallaahu anhu menuturkan: “Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam
telah melarang dua tempat makan, yaitu duduk di meja tempat minum khamar dan
makan sambil menyungkur”. (HR. Abu Daud, dishahihkan oleh Al-Albani).
Tidak
makan dan minum dengan menggunakan bejana terbuat dari emas dan perak. Di dalam
hadits Hudzaifah dinyatakan di antaranya bahwa Nabi Shallallaahu alaihi wa
Sallam telah bersabda: “... dan janganlah kamu minum dengan menggunakan
bejana terbuat dari emas dan perak, dan jangan pula kamu makan dengan piring
yang terbuat darinya, karena keduanya untuk mereka (orang kafir) di dunia dan
untuk kita di akhirat kelak”. (Muttafaq’alaih).
Hendaknya
memulai makanan dan minuman dengan membaca Bismillah dan diakhiri dengan
Alhamdulillah. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila
seorang diantara kamu makan, hendaklah menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta'ala
dan jika lupa menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta'ala pada awalnya maka
hendaknya mengatakan : Bismillahi awwalihi wa akhirihi”. (HR. Abu Daud dan
dishahihkan oleh Al-Albani). Adapun meng-akhirinya dengan Hamdalah, karena
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah sangat
meridhai seorang hamba yang apabila telah makan suatu makanan ia memuji-Nya dan
apabila minum minuman ia pun memuji-Nya”. (HR. Muslim).
Hendaknya
makan dengan tangan kanan dan dimulai dari yang ada di depanmu. Rasulllah
Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda Kepada Umar bin Salamah: “Wahai
anak, sebutlah nama Allah dan makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah apa
yang di depanmu.” (Muttafaq’alaih).
Disunnatkan
makan dengan tiga jari dan menjilati jari-jari itu sesudahnya. Diriwayatkan
dari Ka`ab bin Malik dari ayahnya, ia menuturkan: “Adalah Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Sallam makan dengan tiga jari dan ia menjilatinya sebelum
mengelapnya”. (HR. Muslim).
Disunnatkan
mengambil makanan yang terjatuh dan membuang bagian yang kotor darinya lalu
memakannya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila
suapan makan seorang kamu jatuh hendaklah ia mengambilnya dan membuang bagian
yang kotor, lalu makanlah ia dan jangan membiarkannya untuk syetan”.
(HR. Muslim).
Tidak
meniup makan yang masih panas atau bernafas di saat minum. Hadits Ibnu Abbas
menuturkan “Bahwasanya Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam melarang bernafas
pada bejana minuman atau meniupnya”. (HR. At-Turmudzi dan dishahihkan
oleh Al-Albani).
Tidak
berlebih-lebihan di dalam makan dan minum. Karena Rasulullah Shallallaahu
alaihi wa Sallam bersabda: “Tiada tempat yang yang lebih buruk yang
dipenuhi oleh seseorang daripada perutnya, cukuplah bagi seseorang beberapa
suap saja untuk menegakkan tulang punggungnya; jikapun terpaksa, maka sepertiga
untuk makanannya, sepertiga untuk minu-mannya dan sepertiga lagi untuk
bernafas”. (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Albani).
Hendaknya
pemilik makanan (tuan rumah) tidak melihat ke muka orang-orang yang sedang
makan, namun seharusnya ia menundukkan pandangan matanya, karena hal tersebut
dapat menyakiti perasaan mereka dan membuat mereka menjadi malu.
Hendaknya
kamu tidak memulai makan atau minum sedangkan di dalam majlis ada orang yang
lebih berhak memulai, baik kerena ia lebih tua atau mempunyai kedudukan, karena
hal tersebut bertentangan dengan etika.
Jangan
sekali-kali kamu melakukan perbuatan yang orang lain bisa merasa jijik, seperti
mengirapkan tangan di bejana, atau kamu mendekatkan kepalamu kepada tempat
makanan di saat makan, atau berbicara dengan nada-nada yang mengandung makna
kotor dan menjijik-kan.
Jangan
minum langsung dari bibir bejana, berdasarkan hadits Ibnu Abbas beliau berkata,
“Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam melarang minum dari bibir bejana
wadah air.” (HR. Al Bukhari)
Disunnatkan
minum sambil duduk, kecuali jika udzur, karena di dalam hadits Anas disebutkan “Bahwa
sesungguhnya Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam melarang minum sambil berdiri”.
(HR. Muslim).
#Bertamu
Untuk
orang yang mengundang:
Hendaknya
mengundang orang-orang yang bertaqwa, bukan orang yang fasiq. Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah kamu bersahabat kecuali
dengan seorang mu`min, dan jangan memakan makananmu kecuali orang yang
bertaqwa”. (HR. Ahmad dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
Jangan
hanya mengundang orang-orang kaya untuk jamuan dengan mengabaikan orang-orang
fakir. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersbda: “Seburuk-buruk
makanan adalah makanan pengantinan (walimah), karena yang diundang hanya
orang-orang kaya tanpa orang-orang faqir.” (Muttafaq’ alaih).
Undangan
jamuan hendaknya tidak diniatkan berbangga-bangga dan berfoya- foya, akan tetapi
niat untuk mengikuti sunnah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam dan
membahagiakan teman-teman sahabat.
Tidak
memaksa-maksakan diri untuk mengundang tamu. Di dalam hadits Anas Radhiallaahu
anhu ia menuturkan: “Pada suatu ketika kami ada di sisi Umar, maka ia
berkata: “Kami dilarang memaksa diri” (membuat diri sendiri repot).”
(HR. Al-Bukhari)
Jangan
anda membebani tamu untuk membantumu, karena hal ini bertentangan dengan
kewibawaan.
Jangan
kamu menampakkan kejemuan terhadap tamumu, tetapi tampakkanlah kegembiraan
dengan kahadirannya, bermuka manis dan berbicara ramah.
Hendaklah
segera menghidangkan makanan untuk tamu, karena yang demikian itu berarti
menghormatinya.
Jangan
tergesa-gesa untuk mengangkat makanan (hida-ngan) sebelum tamu selesai menikmati
jamuan.
Disunnatkan
mengantar tamu hingga di luar pintu rumah. Ini menunjukkan penerimaan tamu yang
baik dan penuh perhatian.
Bagi
tamu :
Hendaknya
memenuhi undangan dan tidak terlambat darinya kecuali ada udzur, karena hadits
Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam mengatakan: “Barangsiapa yang diundang
kepada walimah atau yang serupa, hendaklah ia memenuhinya”. (HR.
Muslim).
Hendaknya
tidak membedakan antara undangan orang fakir dengan undangan orang yang kaya,
karena tidak memenuhi undangan orang faqir itu merupakan pukulan (cambuk)
terhadap perasaannya.
Jangan
tidak hadir sekalipun karena sedang berpuasa, tetapi hadirlah pada waktunya,
karena hadits yang bersumber dari Jabir Shallallaahu alaihi wa Sallam
menyebutkan bahwasanya Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam telah bersabda:
”Barangsiapa yang diundang untuk jamuan sedangkan ia berpuasa, maka
hendaklah ia menghadirinya. Jika ia suka makanlah dan jika tidak, tidaklah
mengapa.” (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Al-Albani).
Jangan
terlalu lama menunggu di saat bertamu karena ini memberatkan yang punya rumah
juga jangan tergesa-gesa datang karena membuat yang punya rumah kaget sebelum
semuanya siap.
Bertamu
tidak boleh lebih dari tiga hari, kecuali kalau tuan rumah memaksa untuk
tinggal lebih dari itu.
Hendaknya
pulang dengan hati lapang dan memaafkan kekurang apa saja yang terjadi pada
tuan rumah.
Hendaknya
mendo`akan untuk orang yang mengundangnya seusai menyantap hidangannya. Dan di
antara do`a yang ma’tsur adalah : “Orang yang berpuasa telah berbuka
puasa padamu. dan orang-orang yang baik telah memakan makananmu dan para
malaikan telah bershalawat untukmu”. (HR. Abu Daud, dishahihkan
Al-Albani). dan juga doa, “Ya Allah, ampunilah mereka, belas kasihilah
mereka, berkahilah bagi mereka apa yang telah Engkau karunia-kan kepada mereka.
Ya Allah, berilah makan orang yang telah memberi kami makan, dan berilah minum
orang yang memberi kami minum”.
#Menjenguk
orang yang sakit
Untuk
orang yang berkunjung (menjenguk):
Hendaknya
tidak lama di dalam berkunjung, dan mencari waktu yang tepat untuk berkunjung,
dan hendaknya tidak menyusahkan si sakit, bahkan berupaya untuk menghibur dan
membahagiakannya.
Hendaknya
mendekat kepada si sakit dan menanyakan keadaan dan penyakit yang dirasakannya,
seperti mengata-kan: “Bagaimana kamu rasakan keadaanmu?”.
Sebagai-mana pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam.
Mendo`akan
semoga cepat sembuh, dibelaskasihi Allah, selamat dan disehatkan. Ibnu Abbas
Radhiallaahu anhu telah meriwayat-kan bahwasanya Nabi Shallallaahu alaihi wa
Sallam apabila beliau menjenguk orang sakit, ia mengucapkan: “Tidak
apa-apa. Sehat (bersih) insya Allah”. (HR. Al-Bukhari). Dan berdo`a
tiga kali sebagai-mana dilakukan oleh Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam.
Mengusap
si sakit dengan tangan kanannya, dan berdo`a: “Hilangkanlah kesengsaraan
(penyakitnya) wahai Tuhan bagi manusia, sembuhkanlah, Engkau Maha Penyembuh,
tiada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan
penyakit”. (Muttafaq’alaih).
Mengingatkan
si sakit untuk bersabar atas taqdir Allah Subhanahu wa Ta'ala dan jangan
mengatakan “tidak akan cepat sembuh”, dan hendaknya tidak
mengharapkan kematiannya sekalipun penyakitnya sudah kronis.
Hendaknya
mentalkinkan kalimat Syahadat bila ajalnya akan tiba, memejamkan kedua matanya
dan mendo`akan-nya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam telah bersabda: “Talkinlah
orang yang akan meninggal di antara kamu “La ilaha illallah”. (HR.
Muslim).
Untuk
orang yang sakit:
Hendaknya
segera bertobat dan bersungguh-sungguh beramal shalih.
Berbaik
sangka kepada Allah, dan selalu mengingat bahwa ia sesungguhnya adalah makhluk
yang lemah di antara makhluk Allah lainnya, dan bahwa sesungguhnya Allah
Subhanahu wa Ta'ala tidak membutuhkan untuk menyiksanya dan tidak mem-butuhkan
ketaatannya
Hendaknya
cepat meminta kehalalan atas kezhaliman-kezhaliman yang dilakukan olehnya, dan
segera mem-bayar/menunaikan hak-hak dan kewajiban kepada pemi-liknya, dan
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.
Memperbanyak
zikir kepada Allah, membaca Al-Qur’an dan beristighfar (minta ampun).
Mengharap
pahala dari Allah dari musibah (penyakit) yang dideritanya, karena dengan
demikian ia pasti diberi pahala. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam
bersabda: “Apa saja yang menimpa seorang mu’min baik berupa kesedihan,
kesusahan, keletihan dan penyakit, hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah
meninggikan karenanya satu derajat baginya dan mengampuni kesalahannya
karenanya”. (Muttafaq’alaih).
Berserah
diri dan tawakkal kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan berkeyakinan bahwa
kesembuhan itu dari Allah, dengan tidak melupakan usaha- usaha syar`i untuk
kesembuhan-nya, seperti berobat dari penyakitnya.
#Hubungan
dengan istri
Merayu
istri dan bercanda dengannya di saat santai berduaan. Nabi Shallallaahu alaihi
wa Sallam selalu bercanda, tertawa dan merayu istri-istrinya.
Meletakkan
tangan di kepala istri dan mendo`akannya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa
Sallam bersabda: “Apabila salah seorang kamu menikahi seorang wanita,
maka hendaklah ia memegang ubun-ubunnya, dan bacalah bimillah lalu mohon
berkahlah kepada Allah, dan hendaknya ia membaca: “( Allah, sesungguhnya aku
memohon kepada-Mu dari kebaikannya dan kebaikan sifat yang ada padanya; dan aku
berlindung kepada-Mu dari keburukanya dan keburukan sifat yang ada padanya)”
(HR. Abu Daud dan dihasankan oleh Al- Albani).
Disunnahkan
bagi kedua mempelai melakukan shalat dua raka`at bersama, karena hal tersebut
dinukil dari kaum salaf.
Membaca
basmalah sebelum melakukan jima`. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam
bersabda: “Kalau sekiranya seorang di antara kamu hendak bersenggama
dengan istrinya membaca : “(Dengan menyebut nama Alllah, ya Allah, jauhkanlah
setan dari kami dan jauhkan syetan dari apa yang Engkau rizkikan kepada kami),
maka sesungguhnya jika keduanya dikaruniai anak dari persenggamaannya itu,
niscaya ia tidak akan dibahayakan oleh setan selama- lamanya” (Muttafaq
alaih).
Jika
sang suami ingin bersenggama lagi, maka dianjurkan berwudhu terlebih dahulu,
karena Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila salah
seorang kamu telah bersetubuh dengan istrinya, lalu ingin mengulanginya kembali
maka hendaklah ia berwudhu”. (HR. Muslim).
Disunatkan
bagi kedua suami istri berwudhu sebelum tidur sesudah melakukan jima`, karena
hadits Aisyah menuturkan :”Adalah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa
Sallam apabila beliau hendak makan atau tidur sedangkan ia junub, maka beliau
mencuci kemaluannya dan berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat” (Muttafaq’alaih).
Haram
bagi suami menyetubuhi istrinya di saat ia sedang haid atau menyetubuhi
duburnya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa
yang melakukan persetubuhan terhadap wanita haid atau wanita pada duburnya,
atau datang kepada dukun (tukang sihir) lalu membenarkan apa yang dikatakannya,
maka sesungguhnya ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad”.
(HR. Al-Arba`ah dan dishahihkan oleh Al-Alnbani).
Haram
bagi suami-istri menyebarkan tentang rahasia hubungan keduanya. Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguh-nya manusia yang
paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari Kiamat adalah orang lelaki
yang berhubungan dengan istrinya (jima`), kemudian ia menyebarkan rahasianya”.
(HR. Muslim).
Hendaknya
masing-masing saling bergaul dengan baik, dan melaksanakan kewajiban
masing-masing terhadap yang lain. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman yang
artinya: “Dan para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut yang ma`ruf”. (Al-Baqarah: 228).
Hendaknya
suami berlaku lembut dan bersikap baik terhadap istrinya dan mengajarkan
sesuatu yang dipan-dang perlu tentang masalah agamanya, serta menekankan
apa-apa yang diwajib Allah terhadapnya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa
Sallam telah bersabda: “Ingatlah, berpesan baiklah selalu kepada istri,
karena sesungguhnya mereka adalah tawanan disisi kalian....” (HR.
Turmudzi dan dishahihkan oleh Al-Albani).
Hendaknya
istri selalu ta`at kepada suaminya sesuai kemampuannya asal bukan dalam hal
kemaksiatan, dan hendaknya tidak mematuhi siapapun dari keluarganya bila tidak
disukai oleh suami dan bertentangan dengan kehendaknya, dan hendaknya istri
tidak menolak ajakan suami bila mengajaknya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa
Sallam bersabda: “Apabila suami mengajak istrinya ke tempat tidutrnya
lalu ia tidak memenuhi ajakannya, lalu sang suami tidur dalam keadaan marah
kepadanya, maka malaikat melaknat wanita tersebut hingga pagi”.
(Muttafaq alaih).
Hendaknya
suami berlaku adil terhadap istri-istrinya di dalam masalah- masalah yang harus
bertindak adil. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa
mempunyai dua istri, lalu ia lebih cenderung kepada salah satunya, niscaya ia
datang di hari Kiamat kelak dalam keadaan sebelah badannya miring”.
(HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani).
#Di
Pasar
Hendaknya
berdzikir kepada Allah di saat masuk ke pasar, karena Rasulullah Shallallaahu
alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang masuk ke pasar lalu membaca:
“(Tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya,
milik-Nyalah kerajaan, dan kepunyaan-Nyalah segala pujian, Dia yang
menghidupkan dan yang mematikan, dan Dia Maha Hidup tidak akan mati; di
tangan-Nyalah segala kebaikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu), maka
Allah mencatat sejuta kebajikan baginya, dan menghapus sejuta dosa darinya, dan
Dia tinggikan baginya sejuta derajat dan Dia bangunkan satu istana baginya di
dalam surga”. (HR. Ahmad dan At-Turmudzi, di nilai hasan oleh
Al-Albani).
Tidak
menyaringkan suara dengan berbagai pertengkaran dan perdebatan. Di antara sifat
kepribadian Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam adalah Bahwasanya beliau
bukanlah seorang yang keras kepala atau keras hati dan bukan pula orang yang
suka teriak-teriak di pasar dan juga bukan orang yang membalas keburukan dengan
keburukan, akan tetapi ia mema`afkan dan mengampuni’. (HR. Al-Bukhari).
Menjaga
kebersihan pasar. Pasar tidak boleh dicemari dengan kotoran dan sampah, karena
hal tersebut dapat melumpuhkan arus jalanan dan menjadi sumber bau busuk yang
mengganggu.
Menjaga
agar selalu memenuhi akad dan janji serta kesepakatan-kesepakatan di antara dua
belah fihak (pembeli dan penjual). Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman yang
artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu”.
(Al-Ma’idah : 1)
Mengukuhkan
jual beli dengan persaksian atau catatan (dokumentasi), karena Allah Subhanahu
wa Ta'ala telah berfirman yang artinya: “Dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli”. (Al-Baqarah: 282).
Bersikap
ramah dan memberikan kemudahan di dalam proses jual beli. Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Allah akan belas kasih kepada
seorang hamba yang ramah apabila menjual, ramah apabila membeli dan ramah
apabila memberikan keputusan”. (HR. Al-Bukhari).
Jujur,
terbuka dan tidak menyembunyikan cacat barang jualan. Rasulullah Shallallaahu
alaihi wa Sallam bersabda: “Seorang muslim itu adalah saudara muslim
lainnya, maka tidak halal bagi seorang muslim membeli dari saudaranya suatu
pembelian yang ada cacatnya kecuali telah dijelaskannya terlebih dahulu”.
(HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Albani).
Jangan
mudah mengobral sumpah di dalam berjual beli. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa
Sallam bersabda: “Hindarilah banyak bersumpah di dalam berjual-beli,
karena sumpah itu dapat menghabiskan (barang) kemudian membatalkan
(barakahnya)”. (HR. Muslim).
Menghindari
penipuan, kecurangan dan pengkaburan serta berlebih-lebihan di dalam menarik
keuntungan. Telah diriwayatkan bahwa sesungguhnya Nabi Shallallaahu alaihi wa
Sallam pernah menjumpai setumpuk makanan, maka Nabi memasukkan tangannya ke
dalam tumpukan tersebut, maka jari-jemarinya basah. Maka beliau bersabda: “Apa
ini, wahai si pemilik makanan?” Pemilik makanan menjawab :Terkena hujan, wahai
Rasulullah. Maka Nabi bersabda: “Kenapa bagian yang basah tidak kamu letakkan
di paling atas agar dilihat oleh manusia? Barangsiapa yang curang terhadap
kami, maka ia bukan dari golongan kami”. (HR. Muslim).
Menghindari
perbuatan curang di dalam menakar atau menimbang barang dan tidak
menguranginya. Allah berfirman yang artinya: “Celakalah bagi orang-orang
yang curang, yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain
mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang
lain, mereka mengurangi”. (Al-Muthaffifin : 1-3).
Menghindari
riba, penimbunan barang dan segala perbuatan yang dapat merugikan orang banyak.
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Allah mengutuk (melaknat)
pemakan riba, pemberinya, saksi dan penulisnya”. (HR. Ahmad, dan
dishahihkan oleh Al-Albani). Dan Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak
akan menimbun barang kecuali orang yang salah “. (HR. Muslim).
Membersihkan
pasar dari segala barang yang haram diperjual-belikan.
Menghindari
promosi-promosi palsu yang bertujuan menarik perhatian pembeli dan mendorongnya
untuk membeli, karena Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam telah melarang
najasy. (Muttafaq’alaih). Najasy adalah semacam promosi palsu.
Hindarilah
penjulan barang rampasan (hasil ghashab) dan curian. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesama kamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu”. (Al-Nisa: 29).
Menundukkan
pandangan mata dari wanita dan menghindar dari percampurbauran dan
berdesak-desakan dengan mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman yang
artinya: “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah
lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka
perbuat. Dan katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya; (An-Nur: 30-31).
Selalu
menjaga syi`ar-syi`ar agama (shalat berjama`ah, dll.), tidak melalaikan shalat
berjama`ah karena berjual-beli. Maka sebaik-baik manusia adalah orang yang
keduniaannya tidak membuatnya lalai terhadap masalah-masalah akhiratnya atau
sebaliknya. Allah berfirman yang artinya: “Laki-laki yang tidak
dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat
Allah, dan (dari) mendirikan shalat, dan (dari) menunaikan zakat”.
(An-Nur: 37).
#Dalam
Bertetangga
Menghormati
tetangga dan berprilaku baik terhadap mereka. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa
Sallam bersabda, sebagaimana di dalam hadits Abu Hurairah Radhiallaahu anhu : “....Barangsiapa
yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaklah ia memuliakan
tetangganya”. Dan di dalam riwayat lain disebutkan: “hendaklah ia berprilaku
baik terhadap tetangganya”. (Muttafaq’alaih).
Bangunan
yang kita bangun jangan mengganggu tetangga kita, tidak membuat mereka tertutup
dari sinar mata hari atau udara, dan kita tidak boleh melampaui batasnya,
apakah merusak atau mengubah miliknya, karena hal tersebut menyakiti
perasaannya.
Hendaknya
Kita memelihara hak-haknya di saat mereka tidak di rumah. Kita jaga harta dan
kehormatan mereka dari tangan-tangan orang jahil; dan hendaknya kita ulurkan
tangan bantuan dan pertolongan kepada mereka yang membutuhkan, serta
memalingkan mata kita dari wanita mereka dan merahasiakan aib mereka.
Tidak
melakukan suatu kegaduhan yang mengganggu mereka, seperti suara radio atau TV,
atau mengganggu mereka dengan melempari halaman mereka dengan kotoran, atau
menutup jalan bagi mereka. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam telah
bersabda: “Demi Allah, tidak beriman; demi Allah, tidak beriman; demi
Allah, tidak beriman! Nabi ditanya: Siapa, wahai Rasulullah? Nabi menjawab:
“Adalah orang yang tetangganya tidak merasa tentram karena perbuatan-nya”.
(Muttafaq’alaih).
Jangan
kikir untuk memberikan nasihat dan saran kepada mereka, dan seharusnya kita
ajak mereka berbuat yang ma`ruf dan mencegah yang munkar dengan bijaksana
(hikmah) dan nasihat baik tanpa maksud menjatuhkan atau menjelek-jelekkan
mereka.
Hendaknya
kita selalu memberikan makanan kepada tetangga kita. Rasulullah Shallallaahu
alaihi wa Sallam bersabda kepada Abu Dzarr: “Wahai Abu Dzarr, apabila
kamu memasak sayur (daging kuah), maka perbanyaklah airnya dan berilah
tetanggamu”. (HR. Muslim).
Hendaknya
kita turut bersuka cita di dalam kebahagiaan mereka dan berduka cita di dalam
duka mereka; kita jenguk bila ia sakit, kita tanyakan apabila ia tidak ada,
bersikap baik bila menjumpainya; dan hendaknya kita undang untuk datang ke
rumah. Hal-hal seperti itu mudah membuat hati mereka jinak dan sayang kepada
kita.
Hendaknya
kita tidak mencari-cari kesalahan/kekeliruan mereka dan jangan pula bahagia
bila mereka keliru, bahkan seharusnya kita tidak memandang kekeliruan dan
kealpaan mereka.
Hendaknya
kita sabar atas prilaku kurang baik mereka terhadap kita. Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Ada tiga kelompok manusia yang
dicintai Allah.... –Disebutkan di antaranya- :Seseorang yang mempunyai
tetangga, ia selalu disakiti (diganggu) oleh tetangganya, namun ia sabar atas
gangguannya itu hingga keduanya dipisah oleh kematian atau keberangkatannya”.
(HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Albani).
Jadi
setiap keseharian para Rasul dan para Shahabat bernilai ibadah. Hanya ibadah,
tiada lain. Selain aktivitas keseharian diatas ada beberapa aktivitas ibadah
yang biasa dikerjakan juga oleh mereka juga, mulai dari sholat berjamaah di
masjid, menjaga sholat lima waktu, khusu’ dalam sholat, membaca al-Qur’an,
berdzikir, senantiasa mengingat kematian, berdoa, bershalawat, bertaubat dan
memohon ampun, bersyukur, sholat tahajjud, sholat rawatib, sholat dhuha, sholat
witir, puasa sunnah, sedekah, berjihad dan masih banyak lagi aktivitas ‘keren’
lainnya.
Sejarah
mencatat, semua aktivitas yang dilakukan para Shahabat membuat banyak pihak
merasa heran, contoh kecil ketika Imperium Romawi bisa dikalahkan oleh tentara
Islam. Ternyata kuncinya adalah para mujahid itu ketika malam seperti “pendeta” , siangnya seperti
singa.
Sejarah
mencatat, Islam meraih kemenangan tidak saja dibayar oleh tetesan darah
syuhada, tapi juga linangan air mata tahajud.
Maka ahli jihad, ahli ibadah, adalah mereka yang malamnya mesnangis,
siangnya berjihad. Seorang ahli ibadah,
ahli sedekah, tidak takut dengan siapapun. Karena ruhnya sudah kuat,
rohaninya menguasai jasmaninya.
Bagaimana
pula digambarkan persiapan Muhammad Al Fatih dan pasukannya untuk dapat
menaklukan Konstantinopel. Mereka ingin mendapatkan predikat Panglima terbaik
dan pasukan terbaik. Maka mereka benar-benar melayakkan diri terlebih dahulu di
mata Allah. Menjadikan setiap aktivitas mereka benar-benar layaknya seorang
pemenang. Dengan selalu taqarrub kepada Allah dan Allah menjadi
satu-satunya yang ada dalam benak mereka.
Begitulah
kawan sekelumit ringkasan tentang keseharian seorang pemenang yang harusnya
mulai dari sekarang harus kita biasakan dan aplikasikan setiap hari. Bukankah
Surga yang menjadi tujuan akhir dari kalian? Maka apalagi yang menghalangi kita
untuk memulai? Mulai dari diri sendiri, mulai dari yang terkecil, dan mulai
dari sekarang. []