Selamat datang di Hamfara-1953.Com

Hukum Curang dalam Ujian

Jumat, 14 November 2014 0 komentar

Oleh. Ust M Shiddiq Al Jawi

Haram hukumnya seorang murid berbuat curang dalam ujian bagaimana pun bentuk dan caranya, misalnya bekerjasama dengan teman, mengintip catatan, menerima jawaban lewat SMS, termasuk mendapat bantuan guru. Semuanya termasuk tindakan curang (al-ghisy) yang diharamkan.

Dalil keharamannya adalah hadits dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW suatu saat melewati seonggok makanan yang dijual di pasar. Lalu Rasulullah SAW memasukkan tangannya ke dalam onggokan makanan itu hingga jari beliau menyentuh makanan yang basah. Rasulullah SAW bertanya,”Apa ini wahai penjual makanan?” Penjual makanan menjawab,”Itu kena hujan wahai Rasulullah SAW.” Rasulullah SAW berkata,”Mengapa tak kamu letakkan yang basah itu di atas supaya dapat dilihat orang-orang? Barangsiapa berbuat curang maka ia bukan golongan kami.” (HR Muslim).

Hadits tersebut dengan jelas menunjukkan keharaman tindakan curang penjual makanan, karena terdapat qarinah (indikasi) larangan yang tegas (al-nahy al-jazim), yaitu celaan “bukan golongan kami” (fa-laisa minni) bagi setiap orang yang berbuat curang. (‘Atha` bin Khalil, Taysir Al-Wushul Ila Al-Ushul, hlm. 24).

Namun hadits ini tak hanya berlaku khusus untuk peristiwa tersebut, tapi berlaku umum untuk setiap tindakan kecurangan dalam segala bentuknya. Sebab redaksi hadits menggunakan kata yang berarti umum, yaitu “man” (barangsiapa), sesuai bunyi hadits “Barangsiapa berbuat curang maka ia bukan golongan kami” (Arab : man ghasysya fa-laisa minnii). Kaidah ushul fiqih menyebutkan : Al-‘ibrah bi-‘umum al-lafzhi laa bi-khushush as-sabab (makna diambil berdasarkan keumuman lafazh, bukan berdasarkan kekhususan sebab / latar belakang). (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, III/241).

Pengertian tindakan curang (al-ghisy) adalah menampakkan sesuatu yang tak sesuai dengan faktanya (izh-haru ghair al-haqiqah), atau menampakkan sesuatu secara berbeda dengan apa yang disembunyikan. (Rawwas Qal’ahjie, Mu’jam Lughah Al-Fuqaha`, hlm. 252; Ibrahim Anis dkk, Al-Mu’jam Al-Wasith, hlm. 652).

Dengan demikian, keumuman hadits di atas mencakup pula keharaman melakukan kecurangan dalam ujian, baik yang dilakukan murid maupun guru. Sebab dengan perbuatan curang yang mereka lakukan akan nampak seolah-olah murid mendapat nilai bagus (berhasil), padahal kenyataannya mendapat nilai buruk atau gagal ujian.

Guru tak boleh mentaati perintah kepala sekolah untuk melakukan kecurangan dengan membantu murid mengerjakan soal ujian. Sebab perintah kepala sekolah itu adalah perintah maksiat yang tak boleh ditaati. Sabda Rasulullah SAW,”Tidak ada ketaataan kepada makhluk dalam berbuat maksiat kepada Al-Khaliq.” (HR Bukhari dan Muslim).

Lebih dari itu, guru dan kepala sekolah tak hanya menanggung dosanya sendiri karena membantu dan membolehkan kecurangan, tapi juga akan menanggung dosa seluruh murid yang telah berbuat curang atas bantuan guru dan kepala sekolah. Nauzhubillah min dzalik. Sabda Rasulullah SAW,”Barangsiapa mengadakan perbuatan baik, maka baginya pahala perbuatan itu dan pahala siapa saja yang melakukan perbuatan itu. Dan barangsiapa mengadakan perbuatan buruk, maka baginya dosa dari perbuatan itu dan dosa siapa saja yang melakukan perbuatan itu.” (HR Muslim). Kaidah fikih menyebutkan : “Man a’ana ‘ala ma’shiyyatin fahuwa syariik fi al-itsmi.” (Barangsiapa membantu suatu kemaksiatan, maka dia telah bersekutu dalam dosa akibat kemaksiatan itu). (Syarah Ibnu Bathal, XVII/207). Wallahu a’lam.[Mediaumat/hamfara-1953]
Share this article :
Silakan sebarkan artikel dalam blog ini, dengan syarat tetap menjaga amanah dalam penyalinan dan pengutipan tanpa memotong, menginterpretasi, dan mengubahnya; dan harus mencantumkan sumber dari apa yang diterjemahkan dan dipublikasikan
 
Support : Dakwah Kampus Chapter Hamfara
Hak Cipta hanya milik Allah SWT
Di buat oleh Creating Website dan Di modifikasi oleh Musthalihul Fatih
Di dukung oleh Blogger