Selamat datang di Hamfara-1953.Com

MENELADANI DAKWAH IDEOLOGIS RASULULLAH SAW

Sabtu, 15 September 2012 0 komentar


Oleh: Yuana Tri Utomo, MSI

Jika kita cermati ditengah-tengah masyarakat, sebagaimana disebutkan oleh Syekh Muhammad Husein Abdullah dalam kitab Beliau  Thariqoh Syar’iyyah Listi’nafil Hayah al-Islamiyah, ada tiga kelompok umat dengan cara mereka masing-masing, mereka mengaku dakwah mereka meneladani dakwah Rasulullah SAW.
Jika kita cermati ditengah-tengah masyarakat, sebagaimana disebutkan oleh Syekh Muhammad Husein Abdullah dalam kitab Beliau  Thariqoh Syar’iyyah Listi’nafil Hayah al-Islamiyah, ada tiga kelompok umat dengan cara mereka masing-masing, mereka mengaku dakwah mereka meneladani dakwah Rasulullah SAW.

(Staf Pengajar Ma’had Hamfara, Bantul, Yogyakarta)

PENGANTAR
Tiga belas tahun Rasulullah SAW berdakwah di Makkah menanamkan pondasi dasar bangunan peradaban Islam yang sekarang bisa dinikmati bersama oleh para pengikutnya yang setia menjadikannya teladan utama. Meneladani dakwah Rasulullah SAW di Mekkah, tentu tidak bisa sembarangan meneladani begitu saja.

Kelompok pertama, kelompok yang berdakwah membangkitkan umat dengan cara melakukan aktifitas fisik (القيام بأعمال المادية ). Kelompok pertama biasanya mendasarkan aktifitasnya pada hadits riwayat Muslim, no. 70; Abu Dawud, no. 963; Turmudzi, no. 2098; Nasai, no. 4922 dan lain-lain sebagai berikut:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
(Barang siapa diatara kalian melihat kemungkaran maka hendaklah dia merubah dengan tangannya, jika dia tidak mampu maka dengan lesannya, jika tidak mampu maka dengan hatinya dan yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman). Dari pemahaman hadits diatas, kelompok ini misalnya melakukan aktifitas kekerasan dalam berdakwah menegakkan syariat Islam. Ada juga yang melakukan sweeping ke tempat-tempat yang dianggap sarang kemaksiatan seperti lokalisasi, diskotik, bar dan lain-lain.

Kelompok kedua, kelompok yang berdakwah berusaha membangkitkan umat dengan cara menjalankan aktifitas sosial layaknya negara, padahal mereka bukan negara (القيام بأعمال الدولة كدولة  ). Biasanya mereka melandaskan aktifitasnya pada ayat yang mengandung perintah takwa semampunya, misalnya dalam al-Qur’an surat at-Taghobun ada ayat yang menunjukkan hal itu: bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian...(TQS. [64] : 16). Maka dalam mengamalkan perintah tersebut, kelompok ini berusaha menolong orang-orang yang sakit dengan mendirikan rumah sakit dimana-mana, menolong orang-orang yang tidak mampu sekolah dengan mendirikan lembaga-lembaga  pendidikan dari level yang paling rendah sampai level yang paling tinggi, dari pra TK (pra Taman Kanak-Kanan) atau home schooling sampai program doktoral di perguruan tinggi-perguruan tinggi, bahkan sampai pada guru besarnya sekalian. Tidak cukup dengan pendidikan formal, mereka juga mendirikan pesantren-pesantren untuk mengajarkan agama kepada para santri. Dan bentuk aktifitas-aktifitas lain yang sesungguhnya aktifitas-aktifitas itu adalah aktifitas yang seharusnya dilakukan oleh negara tapi karena negara menganut ajaran laisser passer (mengecilkan peran negara), maka aktifitas-aktifitas ini jadinya dilakukan oleh kelompok-kelompok yang berada dikarakter jenis kedua ini.

Dan kelompok ketiga adalah kelompok yang berdakwah berusaha membangkitkan umat dengan cara menyeru kepada aktifitas individu namun dijama’ahkan (القيام بأعمال الفردية كفردية  ). Dalil kelompok ini diantaranya adalah hadits Imam Ahmad, no. 8595 tentang akhlaq berikut ini:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ
Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan kebaikan akhlaq. Dan dalil-dalili seperti perintah berdzikir, berdo’a dan lain-lain. Sehingga kelompok ketiga ini dalam dakwahnya menjama’ahkan ibadah yang bersifat individu, seperti istighotsah, mujaahadah, dzikir berjama’ah dan lain-lain.

Ketiga kelompok diatas tadi ada disekitar kita, bahkan mungkin, bisa jadi adalah termasuk kita. Namun yang penting untuk kita fahami bahwa kelompok-kelompok tadi menjalankan aktifitasnya karena didorong oleh keinginan meneladani dakwah Rasulullah SAW, mereka memiliki semangat untuk mencontoh dakwah Rasulullah SAW, maka tidak heran jika mereka juga mendasarkan aktifitasnya pada dalil-dalil yang sebagiannya telah disebutkan. Karena dalam aktifitas mereka juga melandaskan pada dalil maka pendapat mereka masih dikategorikan pendapat yang Islami. Bahkan, Syekh Muhammad Husein Abdullah menyebutkan ikhwal mereka dalam kitab Thariqoh Syar’iyyah Listi’nafil Hayah al-Islamiyah dalam bab yang diberinama ijtihadaatu fi at-taghyiiri (ijtihad-ijtihad dalam perubahan).

Selanjutnya bagaimana dengan dakwah politik ideologis melanjutkan kehidupan Islam? Dimana dakwah ini sering dituduh omong doang hanya karena tidak mendirikan lembaga pendidikan, rumah sakit, pesantren; tidak melakukan sweeping-sweeping atau bentuk kekerasan yang lain; tidak melakukan dzikir berjama’ah atau istighosah dan lain sebagainya. Dimana posisi kelompok ini diantara tiga kelompok diatas? Biasanya aktifitas kelompok dakwah politik ideologis ini yang tampak di publik adalah seminar-seminar atau diskusi-siskusi publik dengan tema aktual, sering pula berdemonstrasi atau longmarch sepanjang jalan dan lain sebagainya. Padahal, kelompok ini juga mengaku meneladani dakwah Rasulullah SAW. Apakah kelompok ini masuk kategori ijtihad sebagaimana klasifikasi Syekh Muhammad Husein Abdullah diatas? Kalau iya, termasuk kelompok yang mana? Atau bahkan bukan termasuk ijtihad, sehingga tidak termasuk klasifikasi Syekh Muhammad, artinya kelompok ini memang betul-betul mencontoh dakwah Rasulullah SAW dari dalil-dalilnya yang pasti, baik secara penetapan maupun penunjukannya (qoth’iy tsubut wa dalalah) atau dengan istilah lain sudah diketahui oleh mayoritas (jumhur) secara pasti dari agama (ma’luumun min ad-diini adh-dhorury) bahwa dakwah kelompok ini sama dengan 90% dakwah Rasulullah SAW? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas, atau mungkin juga hipotesa yang telah disampaikan, maka tulisan ini dipaparkan diawali dengan mengetahui realitas hidup umat Islam sekarang kemudian paparan selanjutnya yaitu bahwa dakwah Rasulullah SAW adalah dakwah al-Qur’an dan paparan terakhir adalah meneladani dakwah Rasulullah SAW.

REALITAS HIDUP UMAT ISLAM SEKARANG
Mengetahui suatu realitas (waaqi) ini penting dilakukan sebagai bentuk aktifitas tahqiiqul manath agar tidak terjadi kekeliruan dalam menggambarkannya. Sama saja, apakah realitas itu berupa benda-benda (asyaa’) atau perbuatan (af’aal). Tentu hal ini menuntut adanya pemahaman yang menyeluruh (istiqro’i) dan mendalam tentang realitas itu. Dengan demikian, maka mengetahui bagaimana kaum Muslim hidup sekarang ini, dimana kita akan mengubahnya menuju kehidupan Islam itu penting, karena mengetahui realitas hidup kaum Muslim sekarang ini adalah sebagai obyek hukum (manathul hukmi).

Mayoritas kaum muslim sekarang ini tinggal di negeri-negeri yang oleh para ulama didefinisikan sebagai negeri Islam. Misalnya mereka tinggal di Indonesia, Malaysia, Pakistan, Turky, Mesir, Irak, Saudi dan lain-lain yang dulunya negeri-negeri itu adalah merupakan satu-kesatuan dalam wilayah Islam. Mereka menjelaskan bahwa negeri Islam adalah suatu negeri yang didalamnya terdapat Islam, baik akidah maupun aturan kehidupannya, secara nyata bentuk fisik, apakah negeri itu areanya kecil seperti kota Madinah, atau luas sebagaimana masa Negara Islam Utsmani. Bentuk nyata Islam di negari ini tidak akan ada kecuali jika hukum-hukumnya telah diterapkan ditengah-tengah masyarakat dalam semua aspek kehidupan, internal maupun eksternal. Maka, interaksi-interaksi antar rakyat satu sama lain dan interaksi mereka dengan negara-negara dan bangsa lain, berjalan seluruhnya dengan sistem Islam yang telah mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, mengatur hubungan dengan dirinya sendiri, dan mengatur hubungan dengan manusia lain. Penerapan Islam secara komprehensif dan  lengkap ini tidak akan dapat tercapai kecuali keamanan negeri itu ada pada keamanan kaum Muslimin, internal maupun eksternal.

Adapun keamanan internal yang dimaksud yaitu setiap individu warga negara mengamankan agamanya, darahnya dan hartanya dan menunjukkan kaum Muslim yang kuat dengan kekuasaan mereka yang tercermin pada struktur negara yang dipimpin oleh seorang Khalifah. Adapun keamanan eksternal, yaitu penjagaan negara Islam akan batas-batas negara dan orang-orang yang ada didalamnya dengan kekuasaan dan kekuatan kaum muslim, bukan kekuatan lain. Sehingga kalau tidak begitu, bayangkan bagaimana implementasi Islam di dalam negeri dan di luar negeri tanpa ada kekuasaan kaum muslimin dan kekuatan mereka!!.

Jadi, suatu negara tidak bisa disebut negara Islam kecuali ada dua hal: Pertama, ketundukan negara dan warga negara kepada hukum Islam dalam seluruh urusannya, baik dalam urusan politik dalam negeri maupun politik luar negeri. Kedua, keamanan negara dan warga negara berada ditangan kaum muslimin, baik keamanan internal maupun keamanan eksternal. Adanya dua hal ini secara bersama-sama menjadikan negara itu bisa disebut sebagai Negara Islam, dan jika salah satunya tidak ada maka tidak bisa disebut sebagai negara Islam, tetapi negara kufur, sekalipun semua warga negaranya kaum muslimin.

Suatu negara tidak disifati sebagai negara Islam hanya karena kondisinya atau karena penduduknya, tetapi disifati dengan negara Islam karena sistem hukum dan keamanannya. Karena dengan sistem hukum dan keaman itulah yang menampakkan Islam sebagai sistem kehidupan. Demikian ini yang terjadi selama penaklukan Islam ketika penyerahan suatu negeri dan penduduknya semata-mata kepada hukum Islam dan keamanan kaum muslimin sebagai bukti atas bergabungnya negeri tersebut menjadi bagian dari Negara Islam sekalipun penduduknya tetap menganut agama mereka. Begitu juga, ketika kaum kafir menduduki suatu negeri Islam, maka negeri tersebut menjadi bagian negara kufur sekalipun penduduknya muslim dan masih memegangi sebagian hukum-hukum Islam karena keamanan dan hukum-hukumnya menjadi untuk kaum kafir bukan bagi kekuasaan Islam.

Berdasarkan keterangan tentang definisi negara menurut syari’ah diatas, maka jelaslah bahwa realitas kaum muslim yang hidup sekarang ini, mereka tidak hidup dibawah negara Islam melainkan tempat hidup mereka seluruhnya ini adalah negeri kufur karena keamanannya tidaklah hakiki melainkan dari asing dan karena hukum yang berlaku juga bukan hukum Islam kecuali sebagian-sebagian saja.

Kedaulatan di Negara Islam adalah milik syara’ saja bukan hak bagi rakyat atau bagi mayoritas parlemen atau bagi penguasa atau bagi cendekiawan atau hukum positif, baik  di level negara maupun di level yang lebih bawah, baik manusia rela maupun tidak rela. Ketundukan di negara Islam hanya kepada syara’ saja, mendengar dan taat itu wajib atas rakyat kepada penguasa selama penguasa menerapkan hukum syara’ ini, kalau tidak maka tidak ada mendengar dan taat. Rasulullah SAW bersabda:

السمع و الطاعة على المرء المسلم في ما أحب و كره ما لم يؤمر بمعصية فإذا أمر بمعصية فلا سمع ولا طاعة
Mendengar dan taat kepada pemimpin muslim dalam perkara yang disukai maupun dibenci selama tidak memerintahkan kemaksiyatan, kalau memerintah maksiyat maka tidak ada mendengar dan taat (HR. Imam Bukhori dan Imam Muslim)

Kehidupan di negara manapun akan mengikuti negaranya. Kalau negaranya Negara Islam, maka kehidupan didalamnya kehidupan Islam. Demikian juga kalau negaranya negara kufur, maka kehidupan didalamnya kehidupan yang tidak Islam, sekalipun sebagian anggota-anggotanya mematuhi hukum-hukum Islam, karena kehidupan Islam adalah kehidupan dimana interaksi manusia dengan dirinya sendiri, dengan Tuhannya dan dengan manusia lain diatur oleh sistem Islam. Tidak mungkin merealisasikan kehidupan Islam kecuali didalam Negara Islam.

Bagi pengemban dakwah yang beraktifitas untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam dengan mendirikan Negara Khilafah, seharusnya menyadari realitas ini. Realitas dimana kaum muslimin sekarang hidup, yaitu negara kufur. Dan realitas kehidupan dimana mereka hidup adalah kehidupan yang tidak Islami. Kecuali ketika mereka harus mendukung dan beraktifitas untuk melanjutkan kehidupan Islam.

Realitas, di mana kita hidup sekarang ini, dari sisi negara maupun kehidupan tidak berbeda dalam deskripsi syar’iy dari realitas yang dialami oleh  Nabi SAW dan para sahabat di Mekah. Dan tidak berbeda dengan fakta yang dijumpai Mus’ab bin Umair di Madinah. Makkah sebelum hijrah, didapati oleh Rasul SAW dan banyaknya kaum muslimin sebagai negara kufur. Madinah munawwarah, sekalipun didalamnya ada kaum muslimin yang lebih banyak dibanding di Makkah, pada saat menjelang hijrah juga masih darul kufur. Karena keduanya tidak mengumpulkan dua perkara yang niscaya harus ada bagi suatu negara hingga negara itu menjadi Negara Islam, yaitu hukum Islam dan keamanan kaum muslimin.

Dalam rangka menambah penjelasan realitas Negara Islam, Negara Khilafah dan perbedaannya dengan negara yang ada sekarang, maka harus ada penjelasan dan karakter-karakter yang syar’iy untuk kekhilafahan, yaitu didasarkan pada empat pilar penting:

Pertama: Kedaulatan Negara Islam hanya pada Hukum Syara’  
Ketundukan total siapa saja yang menjadi warga negara Islam hanya kepada syara’, bukan tunduk kepada akal manusia maupun kepada pendapat mayoritas. Allah SWT berfirman: Hai orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul dan orang-orang yang mempunyai urusan  dari kalian, jika kalian berselisih dalam suatu perkara di antara kalian,  maka kembalilah  kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kalian beriman kepada Allah dan Hari Terakhir (TQS. An-Nisa’, 4:59).

Negara dan umat menjalankan syariat yang telah dibawa oleh Rasulullah SAW dari Allah SWT. Allah SWT adalah satu-satunya tempat kembali untuk urusan segala macam perkara realitas, baik realitas itu perbuatan atau perkara benda-benda. Misalnya dalam menyelesaikan sengketa antar individu dengan individu, antar penguasa dengan rakyat, atau antar negara dengan bangsa-bangsa lain, maka harus berpedoman kepada syariat. Penguasa di negara Islam dibaiat oleh rakyat agar menjalankan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, untuk melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya, yaitu untuk melaksanakan syari’ah Islam.


Kedua: Kekuasaan di Negara Islam adalah milik umat.
Umatlah yang memiliki kekuasaan, yaitu kekuatan dan pemerintahan. Pemerintahan disini berarti pelaksanaan hukum Islam. Hanya saja, Allah SWT telah mensyariatkan bagi pelaksanaan hukum, yaitu dengan adanya negara yang dipimpin oleh Khalifah, di mana dia dibaiat oleh umat untuk mewakilinya dalam pelaksanaan hukum syara’ dan mengemban Islam ke seluruh penjuru dunia yang bersandar pada kekuatan pemikirannya dan kekuatan sarana prasarananya. Rasulullah SAW bersabda:

كانت بنو إسرائيل تسوسهم الأنبياء, كلما هلك نبي خلفه نبي, وانه لا نبي بعدي, وسيكون خلفاء فيكثرون, قالوا: فما تأمرنا ؟ قال: فوا ببيعة الأول فالأول, وأعطوهم حقهم, فإن الله سائلهم عما استرعاهم
Bani Israel dulu selalu dipimpin oleh para Nabi, ketika ada seorang Nabi yang wafat maka digantikan oleh Nabi yang lain, tetapi setelahku ini tidak akan ada Nabi lagi, yang ada adalah para penggantiku yang banyak. Para sahabat bertanya: terus apa yang engkau perintahkan kepada kami? Rasul SAW menjawab: jagalah baiat yang pertama kemudian yang pertama dan berikanlah hak-hak mereka, sesungguhnya Allah SWT memintai pertanggungjawaban mereka akan kepengurusan mereka (HR. Bukhori dan Muslim).

Kekuasaan ini milik umat, sehingga umat dibolehkan membunuh orang yang merampas hak Khalifah, kekuasaan menjadi ditangan Khalifah selama dia berkomitmen terhadap hukum syara’, menjalankannya di dalam negeri maupun di luar negeri, seperti penerapan sangsi, menjaga perbatasan, mengemban dakwah dengan jihad ke seluruh penjuru dunia atas semua umat manusia.

Ketiga: Adanya Seorang Khalifah saja bagi kaum muslim se-dunia.
Artinya, bagi kaum muslim se-dunia hanya boleh memiliki satu negara saja, tidak lebih. Dilarangnya umat Islam memiliki lebih dari satu khalifah karena Rasulullah SAW berkata:

إذا بويع لخليفتين فاقتلوا الآخر منهما
Ketika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang akhir dari keduanya (HR. Muslim)

Keempat: Hanya Khalifah yang berhak mengadopsi hukum-hukum syara’ dalam perkara yang terkait dengan pengelolaan urusan rakyat.
Jika jumlah ijtihad syar’iy bervariasi dalam satu masalah, maka Khalifah bertanggung jawab di hadapan Allah, dan terhadap umat Islam untuk mengadopsi hukum syara’ dari berbagai ijtihad yang dia anggap kemungkinan besar bisa diteraapkan. Abu Bakar pada masa pemerintahannya telah mengadopsi hukum syara’ yang mewajibkan manusia beraktifitas dengan hukum tersebut, kemudian Umar bin Khaththab, Utsman dan Ali masing-masing telah mengadopsi hukum syara’ yang lain yang mewajibkan masyarakat mengamalkannya. Tidak ada satu sahabat pun yang mengingkarinya. Maka, menjadi ijma’ sahabat bahwa khalifah berhak mengadopsi hukum syara’ yang harus diamalkan oleh masyarakat.

Dalam perkara itu telah digali dari kaedah syara’ yang terkenal: 
 للسلطان أن يحدث من الأقضية بقدر ما يحدث من مشكلات (bagi penguasa tugasnya adalah memutuskan musykilat-muskilat yang terjadi). Dan yang semisal itu misalnya adalah: أمر الإمام يرفع الخلاف  (Keputusan Imam menghilangkan perbedaan) atau semisal ini: أمر الإمام نافذ ظاهرا و باطنا  (perintah imam ditaati, baik dzohir maupun bathin).

Umat Islam menjalankan perintah Imam dalam perkara yang terkait dengan perbuatannya yang tampak, baik antara dia dengan Negara maupun dengan manusia lain, demikian juga pada aktifitasnya yang tidak kelihatan oleh Negara. Dengan begitu, boleh bagi setiap muslim jika dia merasa sudah terpuaskan oleh ijtihad tertentu yang dia anggap benar, membedai dengan yang di adopsi khalifah, untuk mengajarkan dan mendakwahkan kepada manusia.  Demikian tadi karena ijma’ sahabat menunjukkan pada keharusan mengamalkan apa yang diadopsi oleh khalifah, bukan  pada mengajarkan dan mendakwahkannya.  Abu Bakar mengadopsi pendistribusian harta kaum muslimin dengan sama rata pada masa pemerintahannya, sementara Umar berpendapat tidak demikian, dia mendiskusikannya dengan Abu Bakar pada masalah ini. Tetapi, secara amaliah Umar tunduk pada keputusan yang diadopsi oleh Abu Bakar. Ketika Umar menjabat khalifah, dia menetapkan apa yang dia adopsi. Sehingga, pengadopsian Khalifah meniscayakan harus diamalkan dan tidak harus didakwahkan.

Daulah Islam memiliki struktur pelaksana (jihaz struktur) yang khusus, didasarkan pada Rasulllah SAW di Madinah Munawwarah yang kemudian diikuti oleh para penggantinya (khulafa-u ar-Rasyidun) dan kemudian dijalankan oleh mayoritas khalifah kaum muslimin sampai dihancurkannya khilafah tahun 1924 M. Susunan struktur (jihaz) nya sebagai berikut: khalifah, dua mu’awwin, para wali, amiiru al-jihad, peradilan,  administrasi, dan majlis syuro “majlis ummah”. Struktur ini khusus hanya terdapat di Negara Khilafah, berbeda dengan struktur eksekutif di dalam sistem negara yang ada sekarang. Perkara-perkara yang membedakan antara Daulah Khilafah dalam sistem Islam dari negara-negara dan sistem lain sehingga dengan itu sistem Khilafah memiliki karakteristik dan keunikan yang bisa diketahui  adalah sebagai berikut:

1)      Negara Khilafah tidak memiliki batas-batas teritori yang tetap dan cenderung tidak terbatas, ini karena Negara Khilafah mendapatkan beban syara’ (taklif syar’iy) wajibnya mengemban Islam kepada seluruh umat manusia dan menerapkan kepada mereka, sama saja apakah mereka muslim atau non muslim. Maka, batas-batas teritori Negara Khilafah sejak Rasulullah SAW di Madinah Munawwarah adalah batas-batas dinamis yang bergabung dengannya tanah-tanah orang-orang yang tunduk terhadap Negara Khilafah, baik melalui jalan damai maupun melalui peperangan. Negara Khilafah mengurusi mereka dengan hukum-hukum Islam sehingga mereka menjadi satu bagian dengan Negara Islam dan tidak terkotak-kotak. Allah SWT berfirman: Dan tidaklah Aku mengutusmu (Muhammad) kecuali untuk seluruh umat manusia sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan (TQS. As-Saba’, 34:28)
Allah SWT juga berfirman: Dialah Allah Dzat yang telah mengutus utusan-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang haq agar dimenangkan-Nya atas semua agama-agama (TQS. Al-Fath, 48:28)

Rasulullah SAW bersabda:

أمرت أن أقاتل الناس حتي يقولوا لا إله إلا الله فإذا قالوها عصموا مني دماءهم و أموالهم إلا بحقها
Aku diperintahkan agar memerangi manusia sampai mereka mengatakan “tiada tuhan selain Allah” dan  jika mereka mengatakan itu, maka darah-darah mereka dan harta-harta mereka terjaga dariku kecuali dengan haq-haqnya (HR. Bukhori dan Muslim).

2)      Negara Islam harus menerapkan hukum-hukum Islam dalam kebijakan-kebijakan domestik dan luar negeri, dan tidak boleh berhukum dengan mengacu pada yang lain seperti sekulerisme dan demokrasi atau peraturan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Dewan Keamanan PBB. Haram baginya untuk menjadi anggota organisasi ini, sekalipun untuk satu hari saja. Jika Khalifah melakukannya, maka umat meng-evaluasi (muhasabah) dan mengingkarinya dengan cara yang syar’iy hingga dia mencabt kembali keanggotaannya. Daulah harus mengacu pada hukum syara’ dalam setiap interaksi internasional, seperti tidak boleh membunuh duta dan tawanan, juga seperti menepati perjanjian yang disepakati dengan negara lain dari berbagai negara.

3)      Negara hanya membolehkan berdirinya partai politik-partai politik yang berdasarkan Islam saja, karena dalam rangka melakukan aktifitas politik dan intelektual seperti akuntanbiltas Khalifah dan menyerukan ide-ide Islam yang diadopsi oleh partai-partai selain ide-ide yang diadopsi oleh khalifah. Mendirikan partai politik dengan asas Islam adalah fardlu kifayah. Sebagaiman firman Allah SWT berikut ini: Dan hendaknya ada diantara kalian sekelompok orang yang menyerukan pada kebaikan, memerintah kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung (TQS. Ali Imron, 3:104).

Gambaran yang ada dalam ayat tersebut adalah: dakwah kepada Islam, amar ma’ruf nahy munkar, dan pilar-pilar partai politik Islam. Sehingga tidak boleh kaum muslimin mendirikan partai yang asasnya bukan Islam, seperti nasionalisme, kebangsaan, sosialisme, atau yang lainnya, sebab firman Allah SWT: Barang siapa mencari agama selain Islam maka selamanya tidak akan diterima (TQS. Ali Imron, 3:85) Barangsiapa berkata dalam urusan kami  sementara urusan itu tidak berasal darinya maka ia ditolak (HR. Bukhori dan Muslim).

4)      Negara Islam dilarang memberikan kekuasaan kepada orang-orang kafir atas kaum muslim, seperti  bergabung dalam aliansi militer, atau mengadakan perjanjian politik, budaya, ekonomi atau lainnya dimana kekuasaan ada di pihak orang-orang kafir.  Allah SWT berfirman: Dan selamanya Allah tidak akan menjadikan orang-orang kafir menguasai orang-orang beriman (TQS. An-Nisa’, 4:41)

Wajib bagi Negara Islam sejak berdirinya beraktifitas secara mandiri dalam perekonoimiannya dan berusaha menjadi sentral negara adikuasa di dunia, sebagaimana yang ditunjukkan oleh rasulullah SAW dan Khulafau Rasyidun setelahnya bagaimana menjadikan negara memimpin dan berpengaruh bukan malah menjadi pengikut dan menjadi boneka, membawa Islam ke semua orang untuk mengeluarkan mereka dari kegelapan kekufuran menuju kepada cahaya Islam, dan dari penderitaan sistem hukum buatan manusia menuju keadilan hukum-hukum Islam.

5)      Bahasa Arab adalah bahasa resmi Negara Islam. Bahasa Arab adalah bahasa resmi untuk berkomunikasi secara lokal dan internasional, bahasa pengajaran dan media. Teks-teks perjanjian, kesepakatan-kesepakatan antar negara dan negara lain menggunakan bahasa Arab dan penunjukan-penunjukannya. Ini kewajiban agama, karena bahasa Arab bahasa Al-Qur'an dan Sunnah. Dan ijtihad tidak akan sempurna dalam teks-teksnya serta mengetahui hukum-hukumnya kecuali dengan bahasa Arab. Belum lagi bahwa mukjizat al-Quran yang datang itu dengan bahasa Arab dan masalah mukjizat ini termasuk bagian dari akidah Islam. Sholat sebagai salah satu rukun dari rukun Islam tidak diterima kecuali dengan membaca sebagian dari al-Qur’an, sementara al-Qur’an itu sendiri tidak bisa dianggap al-Qur’an kalau tidak berbahasa Arab. Adapun belajar bahasa lain selain bahasa Arab maka hukumnya wajib kifayah yang akan ditunaikan oleh negara seukur untuk memenuhi kebutuhan mereka, berdasarkan atas kaedah syara’: ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب   (kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan adanya sesuatu maka hukum sesuatu itu menjadi wajib) dalam rangka mengurusi berbagai urusan dan untuk mengemban dakwah.

6)      Kehidupan publik di negara Islam tunduk di bawah semua hukum-hukum Islam. Sehingga Negara Islam tidak membolehkan setiap penampilan masyarakat yang tidak Islamy, seperti liburan tahun baru Iran, atau tahun baru Masehi. Negara juga tidak mengijinkan setiap orang yang ada di dalam wilayah Negara Islam, baik itu individu warga negara, mu’ahid, maupun duta besar untuk melanggar hukum Islam dalam kehidupan publik seperti dalam pakaian dan perilaku, meskipun bukan Muslim. Negaranya adalah Negara Islam, sehingga kehidupan publiknya pun juga kehidupan Islam. Adapun dalam kehidupan pribadi, Islam membolehkan untuk non-Muslim melakukan pekerjaan apapun yang tidak boleh dilakukan di kehidupan publik masyarakat Islam, seperti minum alkohol (khamr), makan daging babi, perayaan festival mereka, atau melakukan peringatan keagamaan mereka.

Inilah asas-asas dan karakteristik Negara Khilafah yang berasal dari dalil-dalil syara’ yang harus disadari dan dijelaskan kepada umat Islam, agar mereka bisa menilai setiap negara yang mengklaim dirinya sebagai negara Islam, dan tidak untuk membodohi dengan berbagai nama dan propaganda yang bertentangan dengan yang dijamin oleh syara’ dan bukan juga untuk membodohi dengan mengatakan sesuatu yang tidak dari Islam itu dari Islam atau yang tidak disetujui Islam itu dari Islam,  tetapi semua yang digali atau disandarkan pada Al-Quran dan Sunnah adalah Islam. Methode Islam dalam ketata negaraan adalah satu, tidak berubah tidak berbilang, meskipun keadaan dan sarana prasarana telah berubah dan meskipun abad sudah berganti. Dan sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan lain, karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kalian dari jalan-Nya, yang demikian itu kalian diperintahkan agar kalian bertaqwa (TQS. Al-An’am, 6:153)

Realitas Negara Islam masa Rasulullah SAW dan para khulafau ar-rasyidun setelahnya serta dalil-dalil syara’ dari al-Qur’an dan Sunnah merupakan standar syara’ untuk mengetahui realitas negara dimana saja, apakah negara tersebut Negara Islam atau bukan. Kehidupan kaum muslimin pasca hijrah pada masa Rasulullah SAW dan di masa ketika khilafah rasyidah masih menaunginya itu adalah type kehidupan Islam dimana menjadi kewajiban bagi pengemban dakwah Islam pada masa sekarang untuk melanjutkannya. Jika ada kehidupan Islam di suatu Negara maka kaum muslimin wajib beraktifitas menyerukan penggabungan wilayah-wilayah Islam menuju pada satu negara tersebut. Karena kesatuan khilafah dan ketundukan terhadap kepada Daulah Khilafah adalah kewajiban syara’ atas kaum muslimin.

Adapun bagi pengemban dakwah di suatu partai politik atau kelompok-kelompok yang beraktifitas untuk melanjutkan kehidupan Islam, mereka wajib memperdalam kajian tentang realitas yang mereka beraktifitas untuk merubahnya, juga mengkaji metode yang dilaluinya untuk memastikan bahwa metodenya betul-betul metode syar’iy yang datang dari wahyu dan dijalankan oleh Rasulullah SAW sampai Beliau SAW mewujudkan kehidupan Islam yang pertama di Madinah Munawwarah dengan menegakkan Negara Islam yang berlangsung hingga 13,5 abad lamanya, terlepas dari buruknya penerapan sebagian hukum-hukum Islam oleh beberapa penguasa Muslim, karena umat Islam didalam abad-abad itu tidak menerapkan hukum lain selain  hukum Islam, dan mereka juga tidak  mengajukan perkara kepada non-Islam. Negara mereka adalah negara Islam, kehidupan mereka adalah kehidupan Islam dalam pandangan mereka maupun pandangan bangsa dan negara lain.

DAKWAH RASULULLAH SAW ADALAH DAKWAH AL-QUR’AN
Dakwah Rasulullah SAW adalah dakwah al-Qur’an. Sudah jelas dan pasti bahwa al-Qur’an diturunkan kepadanya. Sebagaimana disepakati oleh mayoritas (jumhur) ulama dalam membuat kategori mem-periodisasi-kan turunnya al-Qur’an menjadi dua periode, yaitu periode Makkah – dimana ayat-ayat yang turun pada periode ini disebut dengan ayat-ayat Makkiyah, dan periode Madinah dengan ayat-ayat yang turun pada periode ini biasa disebut dengan ayat-ayat Madaniyyah, maka dalam meneladani dakwah Rasulullah SAW, kita bisa melihat dan mempelajari karakter-karakter yang ada didalam ayat-ayat tersebut berikut konteks turunnya ayat-ayat tadi (asbabu an-nuzul).

Pada periode Makkah, turun ayat-ayat yang terkumpul dalam surat-surat pendek seperti dalam juz amma yang berisi tentang pemantapan akidah, serangan pemikiran terhadap akidah kaum kuffar, tokoh-tokoh mereka, impian-impian mereka bahkan juga serangan terhadap interaksi mereka yang rusak. Ada juga yang bersifat meneguhkan hati Rasulullah SAW dan keimanan kaum muslim bahwa kesulitan dakwah dan kekejaman para musuh adalah merupakan sunnatullah ujian Allah SWT.   

Secara pemikiran, dakwah Rasulullah SAW menyerang anggapan-anggapan kuffar Quraisy yang menyembah tuhan lebih dari satu, misalnya patung-patung bernama lata, uzza, manah sebagai tuhan-tuhan mereka. Sebagaimana dalam al-Qur’an surat an-Najm berikut ini: Apakah kalian (wahai orang-orang musyrik) patut menganggap al-Lata,  al-Uzza, dan Manah yang ketiga (sebagai anak perempuan Allah)?Apakah (patut) untuk kamu anak laki-laki dan untuk Allah anak perempuan?   (TQS. [53] : 19-21).

Dengan melihat dan menganalisis ayat-ayat dalam surat-surat Makkiyah maka kita bisa merumuskan tahapan-tahapan dakwah dimana tahapan-tahapan itu diimplementasikan oleh dakwah Rasulullah SAW. Sejak Rasulullah SAW menerima wahyu pertama diutus untuk mendakwahi manusia secara terang-terangan kepada Islam dengan turunnya ayat: Hai orang yang berselimut, bangunlah, lalu berilah peringatan (TQS. al-Mudatsir [74]: 1-2), Beliau SAW berkeliling dari pintu rumah penduduk Makkah menuju pintu rumah yang lain mengajak setiap manusia yang dijumpainya untuk memeluk Islam. Diantara mereka ada yang menerima kemudian masuk Islam seperti Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib, Zubair bin al-Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, Arqam bin Abi Arqam, Abdullah bin Mas’ud, Said bin Zaid, Sa’ad bin Abi Waqqash, Umar bin al-Khaththab, Utsman bin Affan, Ja’far bin Abi Thalib dan lain-lain. Namun diantara penduduk Makkah itu juga ada yang menolak dakwah Rasulullah SAW sehingga mereka kafir, seperti Abu Jahal dan Abu Lahab.

Selanjutnya Rasulullah SAW mengorganisir para sahabat yang syakhsiyyah (kepribadian) mereka sudah terbentuk secara unik (mutamayyizah) dalam per-halaqah-an diantaranya di rumah al-Arqam. Perjuangan politik dimulai dengan serangan terhadap tokoh-tokoh kafir Quraisy, misalnya kepada Abu Lahab. Celaan kepada Abu Lahab tanpa kompromi, dimana pada saat itu Abu Lahab masih hidup bahkan turun al-Qur’an surat al-Lahab yang jelas-jelas menggambarkan celaan itu.  Selain itu, Rasulullah SAW juga memobilisasi para sahabat untuk keluar beriring berdua, dimana barisan yang paling depan adalah Umar bin Khaththab dan Hamzah bin Abi Thalib selanjutnya diikuti oleh sahabat yang lain keluar dari rumah Arqam bin al-Arqam menuju baitullah kemudian berputar berkeliling sambil melafadzkan syahadatain, laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah....

Selain itu Rasulullah SAW juga menyerang interaksi yang rusak dan tradisi yang usang, misalnya dalam surat al-Muthaffifin: Celaka bagi orang-orang yang curang, (yaitu) mereka yang jika menerima timbangan dari orang lain minta dipenuhi, dan jika mereka menimbang atau menakar untuk orang lain mereka mengurangi .....(TQS. [83] : 1-3). Rasulullah SAW juga mencela tradisi aborsi sebagaimana dalam surat at-Takwir berikut ini: Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup itu ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh? (TQS. [81] : 8-9).

Secara singkat bisa disimpulkan bahwa dakwah Rasulullah SAW adalah dakwah al-Qur’an yang memiliki karakter-karakter sebagai berikut: pemikiran, politis, jama’ah dan tanpa kekerasan. Dengan mengetahui karakter-karakter tersebut kita bisa meneladani dakwah Rasulullah SAW, bahwa dakwah Beliau SAW adalah dakwah ideologis.

MENELADANI DAKWAH IDEOLOGIS RASULULLAH SAW    
Pentingnya melihat konteks turunnya ayat-ayat al-Qur’an kepada Rasulullah SAW adalah agar bisa dibandingkan dengan kondisi sekarang, persamaan dan perbedaannya dengan masa Rasulullah SAW, yaitu:

a. Persamaan antara masa sekarang dengan masa Rasulullah SAW berdakwah di Makkah diantaranya adalah sama-sama al-Qur’an tidak dijadikan sandaran dalam menata masyarakat sehingga bisa disebut sebagai masa jahiliyyah, bahkan untuk sekarang bisa disebut dengan jahiliyyah modern.

b. Perbedaan antara masa sekarang dengan masa Rasulullah SAW diantaranya adalah jika dimasa Rasul SAW, Rasul SAW masih hidup dan al-Qur’an masih turun kepada Beliau SAW tapi untuk kondisi sekarang Rasulullah SAW sudah meninggal dan al-Qur’an sudah turun sempurna tidak mungkin akan turun al-Qur’an lain.

Untuk itu bisa dipahami bila disebutkan bahwa hidupnya umat Islam sekarang ini sama jahiliyyahnya bahkan lebih jahiliyyah bila dibanding dengan masa dakwah Rasulullah SAW periode Makkah. Jika di jaman Rasulullah SAW aborsi yang dilakukan masih sangat sederhana, yaitu jika bayi lahir perempuan langsung dibunuh, bedanya dengan sekarang ketika aborsi dilakukan sejak janin masih didalam kandungan belum diketahui jenis kelaminnya, laki-laki atau perempuan.  Maka betullah hadits yang disebutkan Rasulullah SAW dalam riwayat Imam Muslim no. 208 dan Imam Ahmad no. 16094 sebagai berikut:

بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
Islam datang pada mulanya asing dan akan kembali asing sebagaimana dahulu Islam datang, maka berbahagialah bagi orang-orang yang terasing.

Meneladani dakwah ideologis Rasulullah SAW berarti kita juga harus memahami bahwa realitas kaum muslim sekarang yang berbeda-beda dalam memahami sirah Rasulullah SAW bahkan juga memahami teks-teks al-Qur’an dan al-hadits, hal ini merupakan keniscayaan karena beberapa hal, diantaranya karena didalam nash-nash tersebut memang memiliki potensi yang bisa difahami berbeda, yaitu yang biasa disebut dengan ayat-ayat mutasyabihat. Selain itu juga adanya potensi manusia yang memiliki akal sebagai obyek taklif  juga memiliki kemungkinan berbeda, sebut saja misalnya tingkat kecerdasan antara Umar bin al-Khaththab dengan Bilal bin Rabbah, dan lain sebagainya.

Sehingga dengan begitu, kita bisa berbangga hati dengan banyaknya kelompok dakwah yang mengaku meneladani Rasulullah SAW. Berbilangnya jama’ah dan kelompok yang menyerukan kembalinya kehidupan Islam ini menunjukkan bahwa umat sudah sembuh serta mengindikasikan adanya kehidupan didalam tubuh umat, serta keinginan umat untuk bangkit diatur dengan syariat Islam.

Untuk itu pembinaan (tatsqiif) harus terus dijalankan,  baik yang sifatnya intensif maupun pembinaan umum. Interaksi ditengah-tengah masyarakat (tafa’ul ma’al ummah) juga tidak boleh berhenti, kontak yang terencana (by planning) dengan pasang target baik kepada individu maupun kepada lembaga juga harus terus digencarkan. Insya Allah, bi idznillah pertolongan Allah SWT semakin tampak nyata. Wallahu a’lam bi ash-showwab.
Share this article :
Silakan sebarkan artikel dalam blog ini, dengan syarat tetap menjaga amanah dalam penyalinan dan pengutipan tanpa memotong, menginterpretasi, dan mengubahnya; dan harus mencantumkan sumber dari apa yang diterjemahkan dan dipublikasikan
 
Support : Dakwah Kampus Chapter Hamfara
Hak Cipta hanya milik Allah SWT
Di buat oleh Creating Website dan Di modifikasi oleh Musthalihul Fatih
Di dukung oleh Blogger