Selamat datang di Hamfara-1953.Com

Apakah Sila Pertama Pancasila = Tauhid?

Senin, 17 November 2014 0 komentar

Oleh : Amir Bahar

Pendahuluan :
Pada saat ini sebahagian umat yang ber-KTP Islam meyakini bahwa sila pertama Pancasila yaitu  ”Ketuhanan Yang Maha Esa”  adalah kalimat tauhid. Sebagai konsekuensinya   maka   Pancasila merupakan bahagian dari ajaran Islam. Mentaatinya adalah kewajiban, dan  bekerja di lembaga yang berlandaskan Pancasila merupakan ibadah kepada Allah SWT.
Sampai sejauh mana kebenaran pendapat tersebut dan apa akibatnya ditinjau dari sisi tauhid? Penulis akan mencoba mengujinya berdasarkan data sejarah, tinjauan bahasa dan yuridis, dan  tinjauan  tauhid menurut faham ahlu sunnah wal jamaah.

1. Aspek Sejarah :
Penyebutan sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” pertama kali muncul dalam sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, yang kemudian dimasukkan dalam Pembukaan UUD 1945. Perumusan tersebut merupakan salah satu  perubahan dari sila ”Ketuhanan  dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” yang tercantum dalam Piagam Jakarta.

Dalam sidang BPUPKI pada bulan Mei 1945 tiga orang pembicara mengusulkan   ketuhanan (dengan redaksi yang berbeda) dijadikan salah satu dari dasar negara yang akan dibentuk. Muhammad Yamin mengusulkan dasar ”Peri Ketuhanan.” Soepomo mengusulkan dasar  ”Perhubungan Agama dengan Negara”. Soekarno mengusulkan dasar ” Ketuhanan Yang Berkebudayaan.” Usulan dari berbagai tokoh dalam sidang BPUPKI   dirumuskan oleh Panitia Kecil yang berjumlah sembilan orang,  dan keluarlah rumusan, ”Ketuhanan  dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” sebagai sila pertama dari Pancasila yang dimuat dalam Piagam Jakarta.

Dalam sidang “PPKI” pada tanggal 18 Agustus 1945, dalam hitungan waktu kurang dari 15 menit telah terjadi kesepakatan untuk mengubah sila Pertama Pancasila dalam  Piagam Jakarta  yaitu dengan menghilangkan tujuh kata  (dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) dan menggantinya dengan kata ”  Yang Maha Esa”. Maka jadilah  sila Pertama Pancasila menjadi ”Ketuhanan Yang Maha Esa.” Pada hal Piagam Jakarta adalah merupakan keinginan mayoritas tokoh-tokoh Islam dan telah disepakati pada tanggal 22 juni 1945.[1]

Kronologis penghapusan tujuh kata Piagam Jakarta itu   dimulai dari pengakuan   Moh. Hatta yang ditemui oleh seorang perwira angkatan laut Jepang. Katanya, opsir itu menyampaikan pesan berisi “ancaman” dari tokoh Kristen di Indonesia Timur,  jika tujuh kata dalam Sila Pertama pembukaan tidak dihapus, maka mereka akan memisahkan diri dari Indonesia merdeka.

Hatta dan Soekarno, kemudian membujuk anggota PPKI dari kelompok muslim untuk menyetujui penghapusan tujuh kata itu. Di antara mereka hanya Ki Bagus Hadi Kusumo yang bersikeras tak mau. Menurut Ki Bagus Hadi Kusumo, itu berarti mencederai gentlemen agreement (Kesepakatan di antara para pria terhormat) yang sudah mereka sepakati bersama dalam Piagam Jakarta. Soekarno dan Hatta kemudian menyuruh Tengku Moh. Hassan (anggota PPKI dari Aceh) dan Kasman Singodimedjo (Anggota Muhammadiyah) untuk membujuk Ki Bagus Hadi Kusumo. Kasman-lah yang berhasil meyakinkan Ki Bagus Hadi Kusumo, terutama dengan adanya janji syariat Islam akan masuk kembali dalam konstitusi daerah setelah MPR terbentuk enam bulan kemudian.

Kepada Ki Bagus Kasman Singodimejo menjelaskan bahwa perubahan yang diusulkan oleh Bung Hatta yaitu  kata ”Ketuhanan” ditambah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. KH A. Wahid Hasyim dan Teuku Muhammad Hasan yang ikut dalam lobi perubahan itu menganggap Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala, bukan yang  lainnya. Selanjutnya Kasman juga menjelaskan bahwa, Ketuhanan Yang Maha Esa menentukan arti “Ketuhanan” dalam Pancasila. Sekali lagi  bukan Ketuhanan sembarangan Ketuhanan, tetapi yang dikenal Pancasila adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa’, kata Kasman meyakinkan Ki Bagus Hadikusumo[2].

Dalam buku Pancasila Bukan Untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam Adian Husaini menyebutkan bahwa Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Muhammadiyah, yang akhirnya bersedia menerima penghapusan  ”tujuh kata”  setelah diyakinkan bahwa makna “Ketuhanan Yang Maha Esa”  adalah “tauhid”. Dan itu juga dibenarkan oleh  Teuku Muhammad Hasan, anggota PPKI yang diminta jasanya oleh Muhammad Hatta untuk melunakkan hati Ki Bagus.[3]

Setelah terjadinya perubahan tersebut Bung Karno sebagai pencetus dari Pancasila menjelaskan bahwa ”Ketuhanan Yang Maha Esa” itu ialah”tauhid”, dan tauhid yang menjadi api yang menyala-nyala dalam Quran suci itu, dan jikalau tauhid suci itu telah menyala dalam dadanya bangsa Indonesia, maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang tidak akan mati[4].

Namun dalam perjalanan sejarah, apa yang terjadi dalam negosiasi antara Ki Bagus Hadikusumo dan Kasman Singodimedjo yang bersikukuh untuk mempertahankan sila pertama Piagam Jakarta ”Ketuhanan  dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”, dan bersedia menerima perubahannya menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam arti “tauhid” atau Allah Subhanahu Wa Ta’ala  yang diusulkan  Mohammad Hatta dan Soekarno, hanyalah “cek kosong”  yang tidak didukung dengan aspek yuridis. Sehingga jadilah sila  “Ketuhanan Yang Maha Esa” menampung apa saja,  dan siapa saja yang mengaku bertuhan sekali pun itu bertentangan dengan “tauhid” atau Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Jadilah di NKRI ini penyembah berhala, penyembah banyak tuhan, penyembah sesuatu bertentangan dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala disebut ber-“Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Boleh jadi   pendapat   yang ada dalam pikiran para tokoh Islam seperti Ki Bagus Hadikusumo  pada saat bersedia menerima perubahan sila pertama Piagam Jakarta menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, dalam arti tauhid atau Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Namun pada saat ini pendapat tersebut  hanya tinggal kenangan. Dari segi realitas tidak tidak ada bukti yuridisnya, dan menjadi pengakuan sepihak yang tidak diakui oleh pihak nasionalis sekuler dan agama-agama selain Islam.

Jadi kalau ada orang yang ber-KTP Islam  sekarang ini  berpendapat bahwa “Ketuhanan Yang Maha Esa”, adalah tauhid atau Allah Subhanahu Wa Ta’ala maka   orang itu  boleh jadi “sedang bermimpi” dan kakinya tidak menginjak bumi NKRI. Wallahu a’lam.
Bersambung…

[1] Artawijaya, Indonesia Tanpa Liberal, Membongkar Misi Asing dalam Subversi Politik dan Agama, Pustaka Al-Kausar, 2012, hal. 191.
[2] Artawijaya, Ibid hal . 188.
[3]  Adian Husaini, Pancasila Bukan Untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, Gema Inani Pers, Cetakan Pertama, 2009, hal. 148.
[4]Pandangan Islam Atas Pancasila, http://psp.ugm.ac.id/pandangan-islam- atas-pancasila.html, 24-01-2013.

Sumber : 
Klik Disini
Share this article :
Silakan sebarkan artikel dalam blog ini, dengan syarat tetap menjaga amanah dalam penyalinan dan pengutipan tanpa memotong, menginterpretasi, dan mengubahnya; dan harus mencantumkan sumber dari apa yang diterjemahkan dan dipublikasikan
 
Support : Dakwah Kampus Chapter Hamfara
Hak Cipta hanya milik Allah SWT
Di buat oleh Creating Website dan Di modifikasi oleh Musthalihul Fatih
Di dukung oleh Blogger