Selamat datang di Hamfara-1953.Com

Terikat Pada Hukum Syara’

Senin, 17 November 2014 0 komentar

Oleh : Ust. Titok Priastomo, SPt.

Sebagian orang memiliki pemahaman bahwa hukum syara’ hanya memerintah manusia untuk melakukan beberapa perbuatan tertentu dan melarang mereka untuk melakukan beberapa perbuatan yang lain. Lebih dari itu, manusia dipersilahkan untuk melakukan atau meninggalkan segala macam perbuatan apapun di luar hal-hal yang diperintahkan dan dilarang tanpa perlu dipusingkan oleh status hukum syara’ atas perbuatan tersebut, dengan asumsi bahwa tidak ada hukum syara’ yang melarang atau memerintahkannya. Atas dasar itu, hukum syara’ menurut mereka bisa diibaratkan seperti rambu-rambu bagi kapal di lautan, jika ada rambu yang mengharuskan kapal untuk melewati suatu perairan maka kapal itu harus melewatinya, jika ada rambu yang melarang kapal untuk melewati suatu tempat maka kapal itu tidak boleh melewatinya, namun apabila di sebuah perairan luas tidak ada rambu-rambunya sama sekali, maka kapal tersebut boleh melakukan apa saja di perairan itu.  Nah, ini adalah pemahaman yang keliru terhadap hubungan antara hukum syara’ dengan perbuatan manusia.

terikat pada hukum syaraPemahaman yang benar adalah, bahwa peran hukum syara’ bagi kehidupan seorang muslim itu ibarat rel bagi sebuah kereta api. Kemana pun kereta itu pergi, maka ia tidak boleh berjalan lepas tanpa relnya. Demikian pula halnya dengan seorang muslim, dia tidak boleh melakukan atau meninggalkan perbuatan apapun kecuali atas dasar hukum syara’. Dengan demikian, hukum syara’ ibarat rel yang selalu membawanya kemana saja dia melangkah. Syariah bukan sekedar perintah dan larangan yg muncul di beberapa tempat tertentu saja, sehingga manusia tidak perlu memikirkannya ketika perintah dan larangan itu tidak muncul di tempat yang lain, tapi Syariah sebenarnya adalah seperti rel yang harus selalu diperhatikan, dititi, ditaati dan digunakan sebagai tuntunan untuk melaksanakan segala urusan. Inilah penggambaran sederhana dari apa yang dimaksud dengan kaidah “hukum asal dari perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum syara’.”

Dasar dari kaidah ini adalah sebagai berikut:

Pertama:  bahwa seluruh amal perbuatan manusia akan dimintai pertanggungjawaban, dihitung dan dibalas oleh Allah.

وَوُضِعَ الْكِتَابُ فَتَرَى الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ وَيَقُولُونَ يَا وَيْلَتَنَا مَالِ هَذَا الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا     [الكهف: 49]

Artinya: “Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: “Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun.”  (Al-Kahfi ayat 49)

فَوَرَبِّكَ لَنَسْأَلَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ .عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ [الحجر: 92، 93]

Artinya: “Maka demi Tuhanmu, sungguh Kami akan menanyai mereka semua, tentang apa saja yang pernah mereka lakukan.” (Al-Hijr ayat 92 dan 93)

الْيَوْمَ تُجْزَى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ لَا ظُلْمَ الْيَوْمَ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ [غافر: 17]

Artinya: “pada hari dimana setiap diri diberi balasan atas apa saja yang dia usahakan dan pada hari itu tidak ada kedzaliman, sesungguhnya Allah maha cepat perhitungannya.” (Surat Al-Ghafir ayat 17)

Artinya, seluruh perbuatan manusia, baik yang kecil maupun yang besar, semuanya akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat, dan semuanya akan mendapatkan penilaian serta balasan dari Allah.

Dua: bahwa Allah-lah yang satu-satunya pihak yang berhak memberikan penilaian atas status perbuatan manusia pada hari perhitungan, Dialah satu-satunya hakim yang menilai perbuatan manusia, apakah perbuatan mereka itu tergolong terpuji atau tercela,mendapat pahala ataukah siksa.

Allah berfirman tentang “Diri”Nya:

ملك يوم الدين

Ayat ini bisa berarti “Yang merajai hari pembalasan”, bisa juga berarti, “yang memiliki hari pembalasan”, sebab, boleh dibaca Malik (raja) maupun Maalik (pemilik).

Tentang alasan mengapa Allah mensifati DiriNya sebagai raja atau pemilik hari pembalasan, maka Ibnu Katsir menyatakan:

“Karena tidak ada seorang pun pada hari itu yang bisa mendakwa sesuatu, dan tidak ada seorang pun yang dapat berbicara kecuali dengan seizinNya, sebagaimana Firman Allah (artinya): “mereka tidak berkata-kata, kecuali siapa yang telah diberi izin oleh Tuhan Yang Maha Pemurah; dan ia mengucapkan kata yang benar”[1], Allah juga berfirman (artinya): “merendahlah semua suara kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu tidak mendengar kecuali bisikan saja”[2]; Allah juga berfirman (artinya): “Di kala datang hari itu, tidak ada seorangun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya.”[3] Adh-Dhahak berkata, dari Ibnu ‘Abbas ra. “maaliki yaumiddiin”, beliau berkata: “tak ada seorang pun pada hari itu yang memiliki hukum sebagaimana hukum yang pernah mereka miliki di dunia.”

Al-Qurthubi dalam al-jami’ li-ahkamil qur’an menjelaskan makna Maliki Yaumiddiin:

 ”Pada hari itu tidak ada seorang pun yang menentang kekuasaanNya, semuanya tunduk kepadaNya, sebagaimana firman Allah: “limanil mulkulyauma?” (kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini?), menjawablah semua makhluq: “liLlaahil Waahidil Qahhaar” (kepunyaan Allah yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan) (Al-Ghafir ayat 16). Oleh karena itu, Dia berfirman: “yang memiliki hari pembalasan”, artinya, pada hari itu tidak ada penguasa, hakim dan yang berwenang selain Dia”.

Ibnul jauzi dalam Zadul Masir menjelaskan kenapa Allah secara khusus mensifati DiriNya sebagai penguasa hari pembalasan, yakni karena:

“pada hari itu hanya Dia seorang yang memberi keputusan hukum terhadap makhlukNya.”

Semua ini bersesuaian dengan firman Allah dalam Surat Al-Hajj ayat 56 dan 57:

{الْمُلْكُ يَوْمَئِذٍ لِلَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فِي جَنَّاتِ النَّعِيمِ (56) وَالَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِآيَاتِنَا فَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ} [الحج: 56، 57]

Artinya: “Kekuasaan di hari itu ada pada Allah, Dia memberi keputusan di antara mereka. Maka orang-orang yang beriman dan beramal saleh berada di dalam syurga yang penuh kenikmatan. Sementara itu orang-orang yang kafir lagi mendustakan ayat-ayat Kami, maka bagi mereka azab yang menghinakan.” (al-Hajj ayat 56 dan 57)

Tiga: bahwa Allah telah menurunkan petunjukNya kepada manusia. Meski manusia memiliki akal, namun manusia tidak mungkin mengetahui standard keputusan Allah, perbuatan mana yang Dia putuskan sebagai kebajikan dan perbuatan mana pula yang Dia anggap sebagai ketercelaan. Oleh karena itu, penilaian hukum atas perbuatan manusia, ditinjau dari segi apakah akan mendapat pahala atau justru siksa di akhirat, wajib diserahkan kepada Allah saja. Itulah mengapa manusia membutuhkan petunjuk dari Allah Ta’ala. Apabila mereka mengikuti petunjuk itu, maka mereka akan selamat. Sebaliknya, jika mereka meninggalkan petunjuk Allah, maka mereka akan mendapat bencana di dunia dan siksa di akhirat.

Allah berfirman dalam Al-Maidah ayat 15 dan 16:

{قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُبِينٌ (15) يَهْدِي بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلَامِ وَيُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ} [المائدة: 15، 16]

Artinya: “Sesungguhnya telah datang kepada kalian cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.”

Allah juga berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 38:

{ فَمَنْ تَبِعَ هُدَايَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ} [البقرة: 38]

Artinya: “Maka barang siapa mengikuti petunjukKu maka tidak ada ketakutan bagi mereka dan tidak pula mereka bersedih”.

Demikian juga dengan firman Allah dalam Surat Thaha ayat 123 dan 124:

{فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى} [طه: 123]

Artinya: “maka barang siapa mengikuti petunjukKu maka dia tidak sesat dan tidak pula celaka.”

{وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى} [طه: 124]

Artinya: “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.”

Sementara itu, dalam Surat Al-Insan ayat 2 sampai 4, Allah berfirman:

{إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا (2) إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا (3) إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ سَلَاسِلَ وَأَغْلَالًا وَسَعِيرًا} [الإنسان: 2 - 4]

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. Sesungguhnya Kami menyediakan bagi orang-orang kafir rantai, belenggu dan neraka yang menyala-nyala.”

Empat: bahwa Allah mewajibkan manusia untuk mengetahui hukum atas segala macam perbuatan yang mereka lakukan, agar mereka dapat mengatur perbuatan mereka dengan hukum tersebut dan agar mereka dapat mempertanggungjawabkan seluruh amal perbuatan mereka di hadapan Allah pada hari perhitungan. Allah berfirman dalam Surat al-Isra’ ayat 36:

{وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا} [الإسراء: 36]

Artinya: “janganlahh kalian mengikuti apa-apa yang kalian tidak memiliki pengetahuan tentangnya, sesungguhnya pendengaran, pengelihatan dan hati itu semuanya akan dimintai pertanggungjawaban.”

Kesimpulan:

Demikianlah, semua perbuatan manusia harus dijalankan atas dasar hukum Allah, tidak boleh ada yang dilakukan lepas dari pengaturan hukum syara’ tersebut. Kerena itu, dapat kita simpulkan bahwa hukum asal dari perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum syara’, bukan boleh atau pun haram. [hamfara-1953]

الاصل في الافعال التقيد بالحكم الشرعي

[1] {يَوْمَ يَقُومُ الرُّوحُ وَالْمَلَائِكَةُ صَفًّا لَا يَتَكَلَّمُونَ إِلَّا مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمَنُ وَقَالَ صَوَابًا} [النبأ: 38]

[2] {وَخَشَعَتِ الْأَصْوَاتُ لِلرَّحْمَنِ فَلَا تَسْمَعُ إِلَّا هَمْسًا} [طه: 108]

[3] {يَوْمَ يَأْتِ لَا تَكَلَّمُ نَفْسٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ فَمِنْهُمْ شَقِيٌّ وَسَعِيدٌ} [هود: 105]

Share this article :
Silakan sebarkan artikel dalam blog ini, dengan syarat tetap menjaga amanah dalam penyalinan dan pengutipan tanpa memotong, menginterpretasi, dan mengubahnya; dan harus mencantumkan sumber dari apa yang diterjemahkan dan dipublikasikan
 
Support : Dakwah Kampus Chapter Hamfara
Hak Cipta hanya milik Allah SWT
Di buat oleh Creating Website dan Di modifikasi oleh Musthalihul Fatih
Di dukung oleh Blogger