Selamat datang di Hamfara-1953.Com

Masalah Bersama, Titik Temu, Solusi Bersama dan Sinergisitas Gerak

Kamis, 02 Januari 2014 0 komentar

Kita cenderung menganggap bahwa “sosok” masalah bersama yang dihadapi oleh berbagai elemen merupakan titik temu yang dapat menjadi modal bagi kesatuan mereka. Pasalnya, jika mereka sudah sama-sama berdiri di atas titik temu, seolah PR-nya tinggal satu, yakni menyamakan pemahaman tentang solusi atas masalah. Harapannya, setelah solusi disepakati, lahirlah sinergisitas gerak di antara mereka.

kesatuanPandangan di atas menurut saya terlalu simplistik, karena mengabaikan unsur yang sangat penting, yaitu kemungkinan adanya perbedaan kacamata alias perspektif dalam mempersepsikan hakekat masalah yang dibawa oleh “sosok” tersebut. Dalam kenyataannya, kita sering menemukan satu “sosok” yang disepakati sebagai sumber masalah oleh kebanyakan orang. Namun, di balik kesepakatan itu, ada perbedaan yang tersimpan. Mereka memiliki persepsi berbeda dalam melihat hakekat masalah yang ada pada sosok tersebut.

Ambil contoh. Kita semua mungkin sepakat bahwa penyebaran minuman keras secara bebas merupakan sebuah masalah yang harus diatasi. Namun jika ditanya tentang “apa masalahnya”, mungkin kita punya jawaban yang berbeda. Di antara kita ada yang mengatakan, “miras tidak boleh dijual bebas, karena ia akan menjadi biang-keladi bagi munculnya berbagai tindak kejahatan”; yang lain mengatakan, “miras akan merusak kesehatan anak-anak muda, maka ia tidak boleh dijual bebas”; sementara, dari arah lain mengatakan, “miras diharamkan oleh Allah, bagaimana pun tak boleh dijualbebas.”

Alih-alih kita berharap akan ada kesepakatan dalam solusi, perbedaan pandangan mengenai hakekat masalah ini justu sering melahirkan perbedaan jalan keluar yang ditawarkan. Yang mengatakan bahwa masalahnya adalah miras menyulut tindak kejahatan dan merusak kesehatan, maka bisa jadi emreka sepakat bahwa solusinya adalah pembatasan kadar alkohol dalam minuman atau pembatasan peredaran dan konsumsi miras di tempat-tempat yang benar-benar terpantau. Sementara yang menyatakan bahwa masalahnya terletak pada keharaman miras, maka ia mengajukan tuntutan agar miras sama sekali tidak boleh diproduksi dan dijual lecara legal.

Contoh lain, soal pergaulan bebas. Ya, kebanyakan orang tua sepakat bahwa ia adalah sosok masalah. Tapi apa hakekat masalahnya? Satu pihak menyatakan bahwa pergaulan bebas memudahkan penyebaran virus HIV. Pihak lain menyatakan bahwa pergaulan bebas tidak sesuai dengan budaya orang Timur. Sementara orang dari arah lain menyatakan bahwa pergaulan bebas membawa pada pelanggaran terhadap syariat Islam.

Sama dengan kasus sebelumnya, perbedaan perspektif menimbulkan perbedaan pemecahan yang ditawarkan. Pihak pertama menyatakan bahwa agar pergaulan bebas mempercepat penyebaran HIV, solusinya adalah pemakaian kondom bagi praktisi pergaulan bebas. Pihak kedua menyatakan, perlu ada penguatan internalisasi nilai-nilai budaya lokal di kalangan pemuda. Pihak terakhir mengatakan, solusinya internalisasi pemahaman Islam, pembentukan karakter Islami lewat pendidikan, dan penegakkan syariat Islam secara utuh.

Apakah anda melihatnya? Mereka sama-sama menunjuk sosok miras dan pergaulan bebas sebagai sosok masalah, tapi mereka tak sepakat dengan solusinya. Jika anda seorang muslim yang baik, apakah anda berpikir bahwa kesalahan pihak pertama dan ke-2 dalam kedua contoh di atas hanya terjadi pada tawaran solusi yang diberikan? Apakah tidak ada masalah pada perspektif yang mereka gunakan dalam memandang hakekat permasalahan? Apakah menyatakan bahwa masalah miras hanya soal gangguan kesehatan ini bukan kesalahan yang harus dibenahi? Apakah tidak menjadi soal jika orang melihat permasalahan pergaulan bebas sekedar sebagai sarana penyebaran HIV? Apakah mengatakan bahwa masalah pergaulan bebas terletak pada ketidaksesuiannya dengan budaya orang timur itu bukan kesalahan yang harus dibenahi? Tentu saja tidak demikian.

Kita, umat Islam, dengan kaum Marxis punya titik temu yang penting. Kita dan mereka sama-sama menganggap kapitalisme sebagai sebuah masalah. Jika demikian, apakah kita mau mengatakan baha perbedaan antara kita dengan kaum marxis hanya terjadi dalam tataran solusi yang ditawarkan?? Lalu apakah kita dan mereka hanya perlu melakukan pembicaraan dan penyatuan persepsi mengenai solusi? Apakah kita akan menutup mata dengan berbagai pemikiran batil yang menghantarkan mereka sampai pada titik temu dalam memusuhi kapitalisme? Apakah kita punya niat untuk bergerak bersama kaum Marxis tanpa mempermasalahkan cara pandang mereka? Tentu tidak bukan?

Saya punya contoh lain yang lebih ekstrim dalam menunjukkan signifikansi perbedaan perspektif dalam memandang hakekat masalah. Tentang privatisasi pengelolaan minyak bumi di sebuah negeri. Ada yang menganggap bahwa privatisasi itu bermasalah, karena minyak di sebuah negeri merupakan hak-milik penduduk di negeri tersebut, maka seharusnya ia dikelola oleh negara untuk kepentingan penduduk. Mereka menyebutkan ketentuan ini sebagai bagian dari ide ekonomi kerakyatan.

Sementara ada pihak lain yang menganggap bahwa privatisasi minyak bermasalah karena menyalahi Syariat Islam. Menurut mereka, pada asalnya minyak di negeri itu adalah milik Allah, dan harus diberikan kepada umat karena Allah telah memberikan hak pemanfaatan dan pengelolaannya kepada umat, lalu negaralah yang harus mewakili umat dalam pengelolaannya, kemudian mendistribusikannya kepada rakyat atau menggunakan hasilnya untuk melayani kepentingan rakyat. Mereka membawa dalil syara’ untuk mendukung pendapat tersebut. Mereka menyebutnya sebagai salah satu hukum dalam sistem ekonomi Islam.

Perhatikan, secara kasat mata, mereka sama-sama menolak privatisasi pengelolaan minyak bumi. Solusi yang ditawarkan antara kedua pihak di atas bisa dikatakan hampir sama persis. Minyak harus dikelola negara untuk kepentingan rakyat. Hanya perspektif yang digunakan dalam mendeteksi masalah dan memunculkan solusi saja yang berbeda. Lantas apakah aktivis Islam dan aktivis ekonomi kerakyatan sudah memenuhi syarat untuk bersatu dan bergerak bersama untuk menerapkan solusi mereka yang hampir sama itu? Apakah para pengemban dakwah Islam tidak merasa perlu untuk melakukan Islamisasi terhadap perspektif di kalangan aktivis ekonomi kerakyatan tersebut?

Tentu tidak demikian. Umat Islam wajib berdakwah, menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang munkar. Berdakwah bukan sekedar mengarahkan orang untuk melawan sesuatu yang kita musuhi dengan sembarang alasan. Berdakwah bukan sekedar menghimpun siapa saja yang sama-sama memusuhi lawan kita. Tapi, berdakwah adalah menanamkan karakter pemikiran dan karakter kejiwaan yang Islami kepada orang lain dan masyarakat secara umum. Sehingga Islam menjadi kacamata mereka dalam melihat, dan menjadi tongkat mereka dalam berjalan, bukan dengan yang lain. Ini pekerjaan berat. Semoga Allah memudahkan langkah dan tugas kita. [TitokPriastomo/Hamfara-1953]
Share this article :
Silakan sebarkan artikel dalam blog ini, dengan syarat tetap menjaga amanah dalam penyalinan dan pengutipan tanpa memotong, menginterpretasi, dan mengubahnya; dan harus mencantumkan sumber dari apa yang diterjemahkan dan dipublikasikan
 
Support : Dakwah Kampus Chapter Hamfara
Hak Cipta hanya milik Allah SWT
Di buat oleh Creating Website dan Di modifikasi oleh Musthalihul Fatih
Di dukung oleh Blogger